2.1 Mahkum Fih
Mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau
dibebani dengan hukum syar'i. Firman Allah dalam surat Al-Maidah [5] : 1 yaitu
dengan arti "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu".
Berhubungan dengan sesuatu dari beberapa perbuatan mukallaf yaitu memenuhi
janji yang hukumnya wajib.
Dalam surat Al-Baqarah [2] : 282, "Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya". Berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, yaitu menuliskan utang yang hukumnya sunnat. Hukumnya haram membunuh
jiwa bagi mukallaf dalam surat Al-An'am [6] : 151, "Dan janganlah kamu
membunuh jiwa". Ada yg berhubungan dengan satu perkara dari beberapa
mukallaf yaitu menafkahkan harta yang tidak bersih (al-khabits) hukumnya
makruh, dalam surat Al-Baqarah [2] : 267 "Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya". Dan ada juga Ibadah yang
diperoleh dari firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] : 184 yaitu "Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan". Ayat
tersebut berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan
sakit atau dalam perjalanan yang hukumnya mubah.
Syarat-syarat Mahkum Fih
Allah Swt.tidak akan membebani seorang hamba dengan
perbuatan yang di luar batas kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan
beban seperti itu berarti ia menganiaya hamba-Nya, dan sikap seperti itu
mustahil terdapat dalam zat Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.
Ulama menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan
ditaklifkan yaitu
1. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga
mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut. Oleh sebab itu,
agar ayat-ayat yang mujmal dapat dilaksanakan misalnya, tidak menyebutkan cara
pelaksanaan sholat dalam Al quran. Untuk itu, nabi menjelaskannya dalam sabda
beliau : "Shallu kama raaitumuni ushalli."
Demikian pula haji, puasa, zakat ,dan segala perintah yang
bersifat mujmal. Ia
(perintah-perintah itu) tidak dapat ditaklifkan dan mukallaf pun tidak dapat
ditaklifi agar mematuhinya, melainkan setelah ada penjelasan.
2. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari
orang yang berwenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi
oleh mukallaf.
Yang dimaksud "mengetahui" disini adalah
kemungkinan mengetahui, bukan kenyataan mengetahui. Oleh sebab itu, seseorang
yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukum syara' dengan sendirinya atau
dengan menanyakannya kepada orang lain yang mengetahui maka orang itu dianggap
mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan
segala akibatnya. Oleh sebab itu, juga orang-orang yang seperti itu tidak dapat
diterima alasannya bahwa ia tidak mengetahui adanya hukum tersebut.
3. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi.
Artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan
si mukallaf. Dan syarat ketiga ini timbul dari dua hal :
a. Tidak sah menurut syara' mentaklifkan sesuatu yang
mustahil baik menurut zatnya, maupun karena lainnya. Mustahil menurut zatnya
adalah sesuatu yang tidak tergambar adanya pada akal. Misalnya, mewajibkan dan
mengharamkan sesuatu pada waktu bersamaan. Adapun mustahil karena hal lain
adalah segala sesuatu yang tergambar oleh akal adanya, tetapi menurut hukum
alam dan kebiasaan pernah terjadi. Misalnya, menyuruh seseorang terbang tanpa
pesawat.
b. Tidak sah menurut syara' mentaklifkan seorang mukalaf
agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, misalnya,
tidak dibebankan kepada seseorang agar kawannya mengerjakan shalat, atau supaya
tentangganya berhenti merokok, tidak mencuri, tidak membeli kupon-kupon undian,
dan lain sebagainya. Yang ditaklifkan disini hanya memberi nasehat, menyuruh
yang ma'ruf dan melarang yang munkar. (Baca dan bandingkan, Abdul Wahab
Khallaf,op.cit.,hlm.127-131.
2.2 Mahkum 'Alaih
Pengertian
Yang dimaksud dengan mahkum 'alaih adalah mukalaf yang
perbuatannya berhubungan dengan hukum syar'i. Atau dengan kata lain, mahkum
'alaih adalah orang mukalaf yang perbuatannya menjadi empat berlakunya hukum
Allah.
Dinamakannya mukallaf sebagai mahkum 'alaih adalah karena
dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara'. Ringkasnya, yang dinamakan mahkum
'alaih adalah orang atau si mukallaf itu sendiri. Sedangkan perbuatannya
disebut mahkum bih.
2. Syarat-syarat Mahkum Alaih
Ada dua persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang mukalaf
sah ditaklifi.
1) Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu
dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang yang tidak
mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan
kepadanya.
Kemampuan memahami dalil-dalil taklif hanya dapat terwujud
dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu.
Dan oleh karena akal adalah hal yang tersembunyi dan sulit diukur, maka Allah
menyangkutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal,
yaitu baligh. Barangsiapa yang telah baligh dan tidak kelihatan cacat akalnya
berarti ia telah cukup kemampuan untuk ditaklifi.
Berdasarkan hal di atas anak-anak dan orang gila tidak
dikenai taklif karena mereka tidak punya alat untuk memahami taklif tersebut.
Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk karena dalam keadaan
demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.
2. Orang tersebut "ahli" (cakap) bagi apa
yang ditaklifkan kepadanya. "Ahli" di sini berarti layak untuk
kepantasan yang terdapat pada diri seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan
ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab
mengurus harta wakaf.