BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebuah
kajian yang sangat menantang tentang kejawen yang diberikan dosen MataKuliah Pengantar
Islam Nusantara, Khaerul Umam. Orang-orang kejawen
yang dikenal dengan mistiknya karena hal itu orang-orang banyak menyebutnya
orang yang sakti. Kata sakti yang disematkan bukan tanpa alasan banyak realita
yang terjadi, antara percaya atau tidak seperti serpihan cerita pengalaman
salah kawan kuliah penulis dengan orang kejawen aslinya. Cerita itu pun yang
membuat penulis semakin penasaran dan ingin mencari, mengali lebih dalam lagi
tentang hal yang berhubungan dengan kejawen.
1.2. Rumusan Masalah
Sebuah
pertanyaan yang membutuhkan penggalian yaitu :
> Bagaimana asal usul kejawen ?
> Apakah Mitologi Kejawen ?
> Dimana ada orang-orang Kejawen ?
1.3. Tujuan Makalah
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
> Untuk menambah wawasan tentang kejawen
> Sebagai Bahan diskusi
> Untuk saling berinteraksi
dan lebih menggali lagi tentang kejawen
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Kejawen
Asal-usul
kejawen, sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri
sebenarnya penjelmaan Dewi Laksmi, istri Wisnu dan Sadono adalah penjelmaan
Wisnu itu sendiri (Hadiwijoyo, 1983:21). Sri dan Sadono adalah suami-isteri
yang menjadi cikal bakal kejawen. Maka, dalam berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapat tempat
khusus. Dewi Sri dipercaya sebagai dewa padi, dewa kesuburan. <Suwardi
Endaswara.2006. "Mistik Kejawen". Yogyakarta : Penerbit
Narasi.cet.keempat. Hal.1>
Dewi
Sri dan Wisnu, menurut Tantu Panggelaran memang
pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Dari
sumber ini, meneguhkan sementara bahwa nenek moyang Jawa memang dewa. Berarti
kaum kejawen sebenarnya berasal dari keturunan
orang yang tinggi tingkat sosial dan kulturnya.<ibid. Hal.1-2>
Ajaran
kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Sri-Sodono adalah
falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan bahwa dari Ajisaka ini lahirlah aksara Jawa.
Falsafah Ajisaka sarat dengan liku-liku kejawen.
Ajisaka, berasal dari kata Aji yang memiliki arti raja, yang dihomati,
dipuja, dan disembah. Dan kata Saka berarti tiang atau cabang. Ajisaka berarti
tiang penyangga yang memperkokoh diri manusia yaitu religiusitas. Regiusitas
Jawa tak lain adalah mistik kejawen.
Mistik kejawen adalah saka guru (empat tiang penyangga)
kehidupan kejawen. Karena itu, jika
kejawen tanpa mistik, maka pudar pula kejawen tersebut. Kejawen dan mistik
telah menyatu, menjadi sebuah ekspresi religi mistik kejawen. < ibid, hal.
3-4>
2.2 Mitologi Kejawen
Masing-masing
wilayah kejawen, juga memiliki
"pedoman" khusus yang khas Jawa. Masing-masing memiliki kosmonologi
dan mitos tersendiri. Hampir setiap wilayah kejawen,
selalu memiliki mitos-mitos yang diyakini. Mitos-mitos tersebut dijadikan
kiblat hidup, ditaati, dipuja, dan diberikan tempatistimewa didalam hidupnya.
Daerah-daerah kejawen biasanya masih
menjalankan mistik, meskipun kadarnya berbeda-beda. Masing-masing wilayah
memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan mistik. <ibid hal. 5>
Orang
Tengger di Jawa Timur memiliki falsafah mistik tersendiri. Masyarakat Tenggerr
meyakini bahwa nama Tengger beasal dari tokoh mistis Rara Anteng dan Joko
Seger. Keduanya ini sangat dipuja oleh masyarakat Tengger. Pemujaan dilakukan
secara mistis dan menggunakan slametan. Orang banyuwangi menganggap bahwa mitos Minak
Jngga dan isterinya Sita sebagai simbol reproduksi (Beatty, 2001 :223-224). Hal
ini dapat dirunut dari kata jingga (merah) dan sita (putih). Warna merah
dan putih adalah gambaran sesaji jenang
abang putih ( bubur nasi yang berwarna merah dan putih )yaitu representasi
asal-usul manusia berasal dari ibu dan ayah. <ibid hal. 6>
2.3 Ruang Lingkup Kejawen
Orang
Jawa biasanya membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan
kedua in sebenarnya adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama islam,
akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam
itu;misalnya tidak salat, tidak pernah puasa , tidak bercita-cita untuk
melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di dalam susunan
masyarakat orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan agama kejawen.
Di berbagai daerah di Jawa baik bersifat kota maupun pedesaan orang santri
menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang beragama kejawen-lah yang
dominan. <Koentjaraningrat dkk,1999, "Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia", Kebudayaan Jawa oleh kodiran, Jakarta : Djambatan. Cet.18.
Hal.346>
Daerah
kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari
pulau Jawa. Sungguhpun demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering
disebut daerah Kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah
yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah
luar itu dinamakan pesisir dan ujung Timur <ibid hal. 329 atau C. Geertz.
"Agricultural Involution". Chicago, Universy of Chicago
Press.1966.hal.42>
2.4 Serpihan Realita Orang
Kejawen
Serpihan
realita orang kejawen penulis dapatkan dari kawan , beliau adalah Ibu Nuraena
yang berbagi pengalamannya kepada penulis. Dulu Ibu Aena saat tinggal di
jamblang, tepatnya dekat dengan kali jamblang persis. Dia pernah memiliki
pembantu dari orang kejawen solo. Dia
bernama Ibu Sri. Ibu Sri seperti orang kebanyakan kejawen lainnya, yang tidak puasa , tidak shalat, tidak ada
cita-cita untuk menaik haji dan lain sebagainya. Namun dia tahu bacaan basmalah, bahkan selalu mengucapkannya
ketika ingin melakukan semua aktivitasnya. Dia juga mengetahui surat al-fatihah
meskipun sedikit berbeda dalam membacanya tangkas bu Aena. Waktu itu, Ibu Aena
sedang mengandung anaknya yang pertama. Dia hamil tua , 8 bulan mendekati 9
bulan. Menurut dia, suara si kuntilanak sering terdengar namun dia sudah
terbiasa mendengarnya hingga rasa takut pun tak hinggap. Yang dia kwatirkan
setiap tahun ditempat itu selalu meminta tumbal (pasti ada yang meninggal tak
wajar) dan yang aneh, serta jua membuatnya makin kwatir bahwa orang meninggal
itu tepat selalu ditemukan di belakang rumah yang ditinggalnya. Orang meninggal
jua bukan orang pribumi namun orang yang berdomisili. Alasan yang membuat makin
kwatir pun bertambah lagi karena dia termasuk orang yang berdomisili meskipun
suaminya orang pribumi. Anak yang ada di dalam kandungannya kwatir kenapa-kenapa.
Pada suatu hari, hujan lebat
suaminya belum pulang, listrik pun ikut-ikutan padam sehingga memperkeruh
suasana. Dia sempat melihat jam, waktu menunjukkan pukul 23.00. Terlintas di
daun telinganya suara orang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah (jawa:
gejok-gejok bumi) sebanyak 3 kali sambil membaca ayat kursi 3 kali jua.
Sumber suara itu berasal dari kamar bibi Sri (panggilan kepada pembantunya).
Dia tak ingin menganggu pembantunya karena malam pun semakin larut, ia pun
bergegas ke kamar tidurnya. Sebelum pagi menjelang , dia mengalami mimpi buruk.
Keesokan harinya, Ibu Aena
mendengar dialog saptamnya yang menanyakan kepada Ibu Sri, "Waktu malam
kedatangan siapa Sri?". Ibu hanya terdiam lalu menyunggingkan senyumannya.
Dugaan Ibu Aena dalam hatinya, Satpam tahu hal itU karena dia juga sama orang
kejawen. Suasana tenang pun pecah seketika, ada orang yang dinyatakan hilang
terbawa arus karena hujan semalam. Pencarian pun dilakukan tanpa hasil selama 1
hari. Pada hari kedua, hasil pun didapatkan. Penemuan mayat pun seperti
tahun-tahun sebelumnya di belakang rumah Ibu Aena. Ibu Sri mulai mau angkat
bicara kepada majikannya tentang kejadian waktu hujan lebat itu. Menurut
beliau, waktu itu kamarnya dimasuki air banyak yang menengelamkannya maka dari
itu, Ia menghentak-hentak kakinya ke bumi sambil membaca ayat kursi
masing-masing 3 kali. Air pun seketika surut dan muncullah sesosok yang
mengenakan pakaian serba putih. Ibu Sri tidak menjelaskan dialognya secara utuh
dengan sosok itu. Dia hanya mengungkapkan inti dialognya yaitu orang yang
memiliki rumah ini pasti selamat maka jangan kwatir. Sosok itu mengaku leluhur
penunggu situ. Antara percaya atau tidak, namun realitanya ada bahkan terjadi,
cerita diatas hanya sepenggal "mistik kejawen". Orang kejawen yang
pasrah dan berserah diri kepada manunggal Gusti. Kepasrahan dan ke-berserah-an
diri membawa orang-orang kejawen ketitik destinasi yang dinampakkan alam yang
tak terliat oleh orang biasa. Menurut
Pak Ali (10/01/2014, dosen Mk pengantar Filsafat Islam) yang dipahami dari Pak
Susilo, saat orang merasa putus asa yang menyerahkan seluruh diri kepada yang
Maha Berkehendak maka ke-berserah-an dirinya membuatnya doa tanpa pembatas.
Berarti kuncinya adalah sebuah ke-berserah-an diri kita untuk mencapai hal melebih
orang-orang yang pada umumnya <wawancara tidak langsung kepada Ibu Nuraena
10/01/2014 pukul 14.00 di depan perpustakaan ISIF>.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Inti
sari yang bisa kita pahami dari makalah di atas adalah sebagai berikut :
1. Asal usul orang kejawen setrata sosial yang tinggi yaitu
dari dewa. Dewa dalam mitos yang dikenal dengan Sri-Sandono (Dewi Sri dan
Wisnu).
2. Masing orang kejawen memiliki mitos tersendiri dan
melakukan hal-hal yang mistis dengang kadar yang berbeda setiap daerahnya.
3. Orang-orang kejawen
biasanya berada di daerah Banyuwangi, Yogyakarta, Kedu, Surakarta,
Malang dan Kediri sebelum mengalami perubahan-perubahan.
4. Ke-berserah-pasrah-an diri
orang kejawen terhadap manunggal gusti membawa mereka
kepuncakan kebatiniahan orang-orang pada umumnya.
3.2 Saran
Penulis
membuka seluas-luasnya pintu kritik dan saran atas tulisan makalah diatas.
Karena penulis yakin tak ada gading
yang tak retak maka tulisan ini pun belum begitu sempurna,
saran dan kritik kawan-kawan semua-lah yang menjadi penyempurna dan lebih bagus
lagi tulisan ini. Atas perhatian dan kesediaan waktu untuk membaca ini penulis
ucapkan banyak-banyak terima kasih.