Epistemologi irfani
Banyak hal yang harus kita
nalar ataupun membutuhkan penalaran. Misalkan kita menalar benda yang tiada
hingga menjadi ada itu adalah bentuk penalaran yang bersifat imajinasi
terealisasikan ke alam nyata. Dalam ilmu filsafat islam kita mengenal tiga
penalaran yaitu penalaran bayani, burhani dan irfani. Minggu yang lalu kita
telah mempelajari penalaran Bayani dan Burhani. Seperti kita sudah pelajari
bahwa bayani adalah penalaran yang bersifat tekstual tanpa melibatkan akal
kita. Jadi apa yang ada di teks kita terima dan tanpa perlawanan sedikit dengan
akal kita ( saklek teks :bhs jawa). Sedangkan burhani adalah penalaran yang
bersifat kontekstual sehingga peran akal pun mendominasi. Makalah ini akan
melengkapi ke tiga penalaran tersebut. Kita akan membahas tentang iRFANI.
Di dunia tiada yang
tercipta dengan sia-sia pasti memiliki tujuan penciptaannya. Begitu pula dengan
terciptanya makalah epistemologi. Makalah ini tercipta dari perjuangan dan
usaha, dengan tujuan sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui dan mengali
tentang epistemologi 'Irfani
2) Untuk menambah pengetahuan tentang
epistemologi irfani bagi pribadi dan kawan-kawan yang membacanya
3) Sebagai bahan diskusi dan
berinteraksi mengenai epistemologi irfani
Nalar (epistemologi)
Irfani
Al-Irfan dalam bahasa Arab
berasal dari kata 'arafa dan ma'rifah satu makna dengan 'irfan. Kata 'Irfan
muncul dari para sufi muslim yang menunjukan pada sesuatu bentuk pengetahuan
yang tinggi, terhunjam dalam hati dalam bentuk kasyf atau ilham.(al-Jabiri,
Bunyah...,hal.251) Ilham di sini bukan dalam pengertian 'ilham' kenabian,
tetapi merupakan intuisi seketika yang biasanya ditimbulkan oleh praktik-pratik
ruhani. Ilham ini datang dari pusat wujud manusia yang berada di luar batas
waktu atau dari "malaikat". Dengan kata lain, ilham itu berasal dari
pancaran akal universal yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.( Titus
Burckhandt, an introduction to Sufi Doctrine, [Lahore : SH. Muhammad Ashraf
Publishers, 1991], p.37).
Pengertian irfani
tersendiri adalah penalaran yang mengunakan intuisi.
Istilah 'irfan itu sendiri belum
tersebar pemakaiannya dalam literatur-literatur sufistik kecuali pada periode
belakangan. Sejak awal para sufi membedakan antara pengetahuan yang diperoleh
melalui indera atau akal, atau melalui keduanya dengan pengetahuan yang
didapatkan melalui kasyf. Dzinun al-Mishri (w. 245 H) misalnya, membagi
pengetahuan menjadi tiga. Pertama, pengetahuan (ma'rifah) tauhid yang berlaku
untuk kalangan umum, mukmin dan mukhlisin. Kedua, pengetahuan argumentatif dan
bayän, yaitu khusus bagi para hukama' , bulagha', dan ulama'. Ketiga,
pengetahuan sifat-sifat wihdaniyah, yaitu khusus bagi ahli awliyatullah yang
menyaksikan Allah melalui hatinya sehingga nampak suatu kebenaran yang belum
pernah terlihat oleh orang lain.(Al-Jabiri, Bunyah..., p.251).
Sementara itu, al-Qusyairi
memetakan manusia menjadi tiga kelompok. Pertama, ahl an-naql wa al atsar.
Kedua, ahl aql wa al fikr dan ketiga, ahl al wishal wa al qalb. Para sufi juga
membedakan tiga tingkat pengetahuan manusia, yakni Burhani, Bayani dan irfani
dengan merujuk pada pemakaian kata "yaqin" dalam Al-Qur'an yang
didahului dengan kata-kata haq, 'ilm, dan 'ain seperti dalam ayat in hadza
lahuwa haq al yaqin(al- Waqiah:95). Ayat ini menunjuk kepada pengetahuan
irfani. Kemudian dalam surat al Takatsur ayat 5 disebutkan kalla lau ta'lamuna
'ilm al yaqin. Ayat ini menjustifikasi pengetahuan Burhani. Selanjutnya dalam
ayat yang ke-7 dijelaskan tsumma lataraunaha 'ain al yaqin, yang mana ayat ini
menjadi dasar pengetahuan Bayani. Dengan kata lain, 'ilm al-yaqin untuk ahl
al-'uqul (Burhani), 'ain al-yaqin bagi ahl al-'ulum (Bayani), dan haq al-yaqin
untuk ahl al-ma'rifah ('Irfani), demikian menurut Al-Qusyairi. (al-Jabir,
Bunyah..., p.251)
Secara metodologis , pengenalan
langsung (al-idrak al- mubasyir) terhadap Allah yang dilakukan seorang sufi,
pertama-tama dimulai dari kegoncangan jiwa atau keraguan yang bersumber dari
konflik antara nafsu dan akal pada satu sisi, dan dari perenungan filosofis
terhadap alam pada sisi yang lain. Sedang eksistensi pengenalan (idrak) itu
sendiri adalah terbukanya hijab inderawi sehingga terbuka rahasia dan
pengetahuan Allah. Para sufi yang sampai pada tahap ini akan mengtahui
hakikat-hakikat wujud yang tidak diketahui oleh orang lain. Jadi ilmu yang
dicapai melalui kasyf dengan hilangnya hijab inderawi ini adalah pengetahuan
langsung akan eksistensi atau zat Allah da sifat-sifatNya, juga pengetahuan
akan hakikat setiap realitas dan rahasia-rahasia alam serta dimensi bathin
syari'ah dan hukum-hukmnya.(Lihat, Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani,
Dirasat fi al-Falsafah Islamiyyah,Kairo: Maktabah al-Qahirah
al-Haditsah,1957,p. 146-147).
Dalam fenomena 'Irfaniyah
ada dua aspek yang berbeda, yakni 'irfan sebagai sikap terhadap alam ( al-'irfan
kamauqifin min al-alam), dan 'irfan sebagai teori untuk menjelaskan alam dan
manusia. Kedua aspek ini saling berkaitan dan saling mendukung. 'Irfan sebagai
sikap menjadi pengejawantahan atas 'irfan sebagai teori, dan Irfan sebagai
teori menjadi dasar bagi 'Irfan sebagai sikap.(Secara historis, kedua asekini
telah muncul minimal sjak abad ke -2 masehi, di mana ada dua aliran 'irfan yang
berbeda tetapi saling melengkapi. Yang pertama menekankan aspek sikap; sikap
individual,psikis, pemikiran,dan pratik yang bekosentrasi pada hubungan dan
selanjutnya penyatuan diri dengan Allah dengan mengesampingkan dunia. Sedang
yang kedua mengarah pada aspek tafsir dan ta'wil dan upaya-upaya realisasi
teoretis-filosofis keagamaan dengan menjelaskan perkembangan penciptaan dari
awal sampai akhir. Lihat, al-Jabiri Bunyah..., p.254).
'Irfan dalam kapasitasnya
sebagai sikap terhadap alam (dunia) bersumber dari kegoncangan jiwa, perasaan
pesimistik terhadap realitas kehidupan yang ada. Dunia semuanya dianggap jelek
atau jahat, sehingga memunculkan permasalahan yang sangat mendasar tentang
kejahatan di dunia mengapa dunia ini menjadi sumber kejahatan. Kesadaran akan
hal ini menjadikan sufi menolak dunia, baik sebagai realitas eksternal maupun
sebagai kesadaran internal. Apa yang dirasakan sufi adalah keterasingan dengan
dunia. Ia merasakan dirinya asing di dunia, sehingga mengantarkannya kepada
pemilahan dirinya dengan dunia, kepada keterpisahan dan keterputusan dengan
dunia.(ibid. , p.255-256)
Perasaan keterasian sufi
adalah perasaan yang ambigu, yaitu pada kandungan kata asing (gharib) itu
sendiri. Di satu sisi sufi merasakan dirinya betul-betul asing di dunia ini
secara keseluruhan, dan di sisi lain keterasingan ini hanya sekedar pernyataan
saja, hanya merasa asing. Dengan kata lain, keterasingan sufi ini bisa
berbentuk hubungan negatif maupun positif. Negatif berarti ia asing dari dunia
dan dunia asing darinya. Sedang keterasingan dalam makna positif bukan
keterasingan yang disandarkan pada situasi dan bukan pada hubungannya dengan
sesuatu yang lain, tetapi membatasi alam (dunia) pada esensinya, bebas dari
dunia setelah membebaskan diri dari kungkungan dan ikatan dunia. Dari sini,
kemudian sufi menapak satu langkah yaitu mendapati dunia yang lain, dunia
transendental, terlepas dari dimensi waktu dan tempat, dunia yang sebenarnya,
dunia ketenangan, kesempurnaan, dan kebahagiaan.(ibid)
Selain pada aspek sikap,
problematika 'Irfani juga muncul pada dataran pemikiran. Seorang sufi ketika
meletakkan hakikat dirinya sebagai persoalan, yaitu "siapa aku", akan
melontarkan tiga pertanyaan; dari mana
aku datang, di mana aku sekarang, dan ke mana aku kembali. Permasalahan
ini adalah ma'rifah, bahkan 'irfani, di mana seorang sufi berupaya mencapainya.
Hal ini tidak melalui pemikiran tentang dunia. Bagaimana mungkin ia tidak
menjawabnya sedang dunia itu asing, semuanya jahat. Juga tidak melalui
pengunaan indera dan akal. Bagaimana mungkin ia bersandar pada keduanya sedang
indera dan akal berkaitan dengan dunia. Demikian, tidak lain pengetahuan itu
dicapainya secara langsung melalui kekuatan transendental, 'Irfani. (Hermeneia,
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner vol.6, nomor 1, Januari-Juni 2007)
Saripati ajaran sufi
datang dari Nabi, tetapi ajaran itu terus dimanifestasikan kembali melalui mulut
para guru sufi. Karena sifatnya yang langsung dan pribadi ini, pengajaran lisan
menjadi sangat kuat dibandingkan dengan tradisi tulisan. Tulisan hanya
memainkan peran sekunder sebagai persiapan, pelengkap, atau suatu bantuan untuk
mengingat ajaran.(Lihat , Titus Burckhardt, An Introction..., p.8-9)
Di samping itu, para sufi
juga mengklaim bahwa ajarannya berdasarkan pada al-Qur'an. Ayat yang menjadi pegangan adalah ayat 151 dari surah
al-Baqarah yaitu: "kama arsalna fikum rasùlan minkum yatlù 'alaikum
äyätinä wa yuzakkíkum wa yu'allimukumu-l-kitäba wa-l-hikmata wa yu'allimukum mä
lam takùnù ta'lamùn.
DAFTAR PUSTAKA
Hermeneia, Jurnal Kajian
Interdisipliner vol. 6, Nomor 1, Januari-Juni 2007
|