MAKALAH
RELASI ILMU TASAWUF dan ILMU FIQH
KAJIAN PUASA
Untuk
memenuhi tugas mandiri
Mata
Kuliah Relasi Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqh
Dosen
pengampuh : Jafaruddin, S.Ag
Disusun
oleh:
Kayan Manggala
Institut Study Islam Fahmina (ISIF)
jl. Swasembada NO.15 Majasem-Karyamulya
Kota Cirebon Jawa Barat 45132
Tahun 2013 M/ 1435 H
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Terkadang kita
selalu merasa benar, padahal menurut pandangan kita benar maka belum tentu
pihak lain berkata hal yang sama. Karena kebenaran yang hakiki adalah hanya
milik sang Illahi. Kita menganggap kita paling benar bahkan menyesatkan
golongan lain. Itu adalah hal yang tidak dibenarkan, apalagi dianggap baik.
Jadi, bila para ahli fiqh ataupun siapa saja yang menganggap bahwa tasawuf
adalah pelepasan/melepaskan diri dari hukum syariat sehingga mengatakan
"sesat" . Maka mereka harus membaca makalah ini yang berjudul relasi
tasawuf dan fiqh sehingga lebih bijak lagi, bahkan berpikir ulang untuk
mengatakan kata "sesat". Tidak menutup kemungkinan kepada semua insan
untuk membaca ini agar lebih menjadi bijaksana lagi khusus bertutur kata.
1.2
TUJUAN
Tiada asap tanpa
api. Maka asap pun akan ada jika api ada. Seperti pribahasa yang mengandung
arti bahwa penyebab ada ketika ada yang menyebabkan. Makalah ini pun tercipta
dengan tujuan sebagai berikut :
> Untuk bahan
diskusi
> Untuk
memenuhi tugas Mata kuliah ini
> Untuk
menambah wawasan tentang tasawuf mengenai relasi tasawuf dan fiqh
2.1 RELASI ILMU TASAWUF dan ILMU
FIQH
Biasanya,
pembahasan kitab-kitab fiqh selalu dimulai dari thaharah (tata cara bersuci), kemudian persoalan-persoalan fiqh
lainnya. Akan tetapi, pembahasan ilmu fiqh tentang thaharah atau lainnya tidak secara langsung terkait dengan
pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa lebih bermakna jika disertai pemahaman
rohaniahnya.
Persoalannya
sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqh dalam
persoalan-persoalan tersebut? Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang
palin tepat karena berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqh. Corak
batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing.
Bahkan, ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan
hukum-hukum fiqh. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna
tanpa perjalanan rohaniah.
Ma'rifat secara
rasa (al-ma'rifat adz-dzauqiyah)
terhadap Allah SWT. melahirkan pelaksanbn hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari
sinilah, dapat diketahui kekeliruan pendapat yang menuduh perjalanan menuju
Allah SWT. (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum
Allah SWT. Sebab, Allah SWT sendiri telah berfirman dalam Q.S al-Jatsiyah [45]
:18 yang artinya: "Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat
(peraturan) dari agama itu, maka ikutlah (syariat itu) dan janganlah engkau
ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui"
Berkaitan dengan
persoalan ini, Al-Junaid - seperti dikutip Sa'id Hawwa-menuduh sesat gologan
yang menjadikan
wushul (mencapai)
Allah SWT. merupakan tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syariat.
Lebih tegas, ia mengatakan, "Betul, merek sampai, tetapi ke neraka
saqar"
Dahulu, para
ahli Fiqh mengatakan, "Barang siapa mendalami fiqh, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami
fiqh, berarti ia zindiq; barang siapa melakukan keduanya, berarti ia
ber-tahaqquq (melakukan kebenaran)."
Tasawuf
dan fiqh adalah dua displin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi
pertentangan antara keduanya, berarti terjadi kesalahan dan penyimpangan.
Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqh atau menjauhi fiqh.
Dengan kata lain, seorang ahli fiqh tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang
ahli fiqh harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf (sufi) pun harus
mendalami dan mengikuti aturan fiqh. Tegasnya, seorang faqih harus mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara
pengalamannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan
sekaligus mengamalkannya. Berkaitan dengan ini, Syekh Ar-Rifa'i berkata,
"Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi adalah satu."
Pernyataan ini perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang
"terkelabui" selalu menghujat setiap orang dengan perkataan,
"Orang yang tidak memiliki Syekh, Syekhnya adalah setan." Ini
diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk syekhnya; atau
dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu cara mendudukkan tasawuf pada
tempat yang sebenarnya.
Para pengamat
ilmu tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan tasawuf dengan
fiqh adalah Al-Ghazali. Kitab Ihyaa' Uluum Ad-Diin-nya dapat dipandang sebagai
kitab yang mewakili dua disiplin ini, di samping displin ilmu lainnya, seperti
ilmu kalam dan filsafat.
Paparan di atas,
telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf dan ilmu fiqh adalah dua displin ilmu yang
saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa
kebutuhan perseorangan terhadap kedua displin ilmu ini sangat beragam sesuai dengan
kadar kualitas ilmunya. Dari sini, dapat dipahami bahwa ilmu fiqh yang terkesan
sangat formalistik-lahiriah menjadi "sangat kering" ,
"kaku" dan tidak mempunyai makna yang berarti bagi penghambaan
seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh
tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap
"merasa suci" sehingga tidak perlu lagi memerhatikan kesucian lahir
yang diatur dalam fiqh.
2.2
PUASA DALAM FIQH dan TASAWUF
Definisi puasa
dalam fiqh adalah menahan diri untuk tidak makan dan minum dari terbit fajar
hingga menjelang matahari terbenam. Dari definisi tersebut , kita bisa
menganalisa bahwa fiqh hanya mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah. Saat kita
telah melaksanakan itu maka sukseslah puasa kita. Namun bila menurut tasawuf
puasa adalah menahan diri dari perbuatan yang tidak baik seperti berdusta,
zina, menghina dan lain-lainnya. Dari definisi tersebut, kita menyimpulkan
bahwa puasa dalam tasawuf bersifat batiniah. Biasanya disebut puasa batin.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tasawuf dan fiqh itu saling melengkapi satu-sama
lainnya. Bila kita ibaratkan, sayur (fiqh) yang tak sedap tanpa garam
(tasawuf).
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pada dasarnya,
Tasawuf dan Fiqh memilki satu-kesatuan yang tak bisa pisahkan. Bila tidak bisa
menyatukan kedua hal tersebut maka kita bisa menjadi orang yang fasik ataupun
zindiq namun bila kita bisa menyatukan keduanya maka kita akan menjadi orang
ber-tahaqquq (melakukan kebenaran). Seseorang yang telah berhasil dalam
menyatukan keduanya adalah Al-Ghazali. Hal itu bisa kita ketahui dari kitab
beliau yaitu kitab yang berjudul Ihyaa' 'Uluum Ad-Diin. Mari kita
berlomba-lomba untuk menjadi Al-Ghazali selanjutnya yang bisa menyatukan kedua
displin ilmu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,Ed.Rev, Bandung : Pustaka Setia, 2010
Sa'id Hawwa. Tarbiyatunar-Ruhiyah.Terj.Khairul
Rafie' M.dan Ibnu Thaha Ali. Bandung Mizan. 1997