Sabtu
(03/10/15), saya melakukan perjalanan menuju tempat penelitian secara
partisipatoris dengan live in di rumah penduduk nantinya. Pukul 14.00 menuju ke
Cigugur, Kuningan, berbekal si merah 80-an dan tas kuning dan peralatan
pelengkap lainnya. Saya membutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai tempat yang
dimaksud.
Pukul 15.00,
saya sampai di paseban cigugur. Saya tidak menemukan siapa-siapa yang dikenal
kecuali 3 perempuan sunda yang sedang berselfi ria. Sepertinya, Dunia hanya
milik mereka, saya melewatinya tak ada respon, mereka tetap asyik dengan
kegiatan mereka. Saya mengirim pesan kepada Mba Alif bahwa saya telah sampai di
Paseban. Perjalanan yang cukup lama dan melelahkan juga membuat saya memanfaatkan
waktu menunggu Mba alif, saya membuang air kecil dan bersantai sejenak
melemaskan otot yang tegang.
Terhenyaknya
dari bersantai, saya teringat bahwa waktu sholat ashar telah masuk namun diri
ini belum melaksanakannya. Saya bergegas menuju masjid dekat sebuah situ
paleben. 3 bidadari sunda terlewati lagi dan masih asyik seperti tadi. Baru
keluar gerbang masuk paseban , namaku dipanggil, "Kayan...Kayan"
suara seorang yang tak asing bagiku. Iya benar sekali, dia adalah seorang yang
tadi kukirim pesan dan kutunggu. Mba Alif namanya, dia memiliki postur tubuh
yang jangkung (baca : Tinggi). Akhirnya kumengurungkan niatku ke masjid dan
langsung menghampiri sosok yang jangkung itu.
Saya dan kawan
lain yang mengikuti live in dipertemukan oleh Mba Alif. Mereka ialah Syamsiah,
Laela alfiah, lia Ameliah, Nur Indah, Novi, Ali Bakhrudin, Ahmad Hadid,
Haryono, Ahmad Basyar dan Umar Alwi. Pak Didi yang bertindak sebagai pemandu,
Mendata kita semua dan memandu ke tempat penginapan penduduk.dipandu dengan
beliau kita berjalan bersama menuju penginapan masing-masing. Kelompok
perempuan menginap di Rumah Ibu Nining. Saya menginap di Rumah penduduk Bapak
ONO. Selain saya , ada 3 orang lagi ialah Hadid, Haryono dan Ali. Di sini hanya
ada beliau dan anak terakhirnya bernama Agus. Istrinya sedang berada di
Jakarta. Hal itu yang menyebabkan saya dan kawan lain hanya menginap saja di
sini. Untuk makan malam dan pagi nanti kita ke atas di Rumah pak Didi.
Sedangkan makan siang dibedakan membeli sendiri dengan uang yang sudah disiapkan
panitia live in.
Sempat di Rumah
pak Didi kelompok laki-laki berenam beserta Mba Alif bercanda Ria,
mempersoalkan ini itu yang memancing gelak tawa semuanya. Keakraban antara kita
mulai terbangun di Sini. "pak, foto itu siapa-siapa?" tanya haryono.
Pak didi menjawab bahwa siapa saja sosok yang ada di foto tersebut. Rama
madrais, Rama Tedja Buwana dan Pangeran DJati Kusuma. Yang terakhir menurut haryono
mirip dengan yang biasa berperan sebagai raja Siliwangi dalam sinetron di
televisi swasta. Pak Didi setuju dan membenarkan pendapatnya. Beliau juga
bercerita bahwa waktu dulu, di Jakarta diadakan Pawai Semua kerajaan
Se-Nusantara. Hal tersebut pun terjadi, banyak yang bilang begitu.
Tradisi membentuk Keberagaman
Kawan-kawan juga
membicarakan tentang tradisi lomba
Nyiblung, Dayung Buyung dan ngukut Artos. Tradisi ini terlewatkan dari
pandangan indraku karena waktu saya berjumpa dengan Kawan-kawan dan Mba Alif ,
mereka Usai menyaksikan itu. Sebenarnya dari selembaran hitam putih berisi
rentetan acara seren tahun, saya melihat tradisi itu dilaksanakan 20 Raya Agung
1948 Saka Sunda pada pukul 14:00-16:30, yang mestinya saya masih sempat
menyaksikannya 1 jam 30 menit. Tradisi usai sebelum waktunya membuatku sedikit
kecewa. Kekecewaanku ternyata berdampak positif yang mendorongku ingin tahu
bahwa tradisi nyiblung, dayung Buyung itu apa?. Rasa kecewa pun terobati
setelah melihat selembaran yang berisi tentang tradisi apa saja di upacara Adat
Seren Tahun. Tradisi itu ialah Damar Sewu , pesta Dadung, seribu kentongan, penanaman
pohon, Nyiblung dan dayung buyung, heleran/ pawai budaya, godang, kidung
spiritual, ngareremokeun, tari buyung, angklung buncis, ngajayak dan penumbukan
padi.
Nyiblung adalah
permainan musik air yang biasa dimainkan oleh masyarakat dulu ketika menunggu
mengambil air minum di mata air. Kalau dalam bahasa jawa "nyiblung"
diartikan masuk ke air kolam atau danau. Asumsi saya permainan musiknya
dilakukan di dalam air namun kenapa dilakukan orang dulu untuk menunggu
mengambil mata air?. Kawan-kawan juga sempat membicarakan bahwa kang Going
bermain musik di dalam air. Kang going juga salah satu peserta pelatìhan Ham
dan kewarganegaraan di Paseban pada 28-30 September 2015. Pelatihan tersebut
berlanjut dengan live in selama 3 hari (3-5 oktober 2015).
Sedangkan Dayung
Buyung adalah berenang dengan menggunakan buyung sebagai pelampung, biasanya
dilakukan oleh masyarakat ketika mandi di situ dekat mata air. Saya melihat
foto-foto hasil kang ali yang menggambarkan keseruan acara tersebut. Keseruan
juga dikata oleh beberapa kawan live in yang menyaksikan. Ada yang berpendapat
bahwa orang dewasa tidak merasa malu melawan anak kecil dan tradisi itu
dimerikankan oleh masyarakat sekitar yang memiliki beda agama, bahkan ada juga
yang mengatakan bahwa para pengunjung dibuat terbahak-bahak dengan aksi peserta
nyiblung.
Sholat kudirikan
saat terbersit bahwa saya belum melaksanakannya namun waktu menunjukkan pukul
16:45. Usai sholat Obrolan tetap berlanjut mengenai batu akik yang sempat tenar
namun kini meredup pamornya. Pak didi ternyata memiliki banyak koleksi hasil pencarian dan pemberian tamu
atau kawan kepadanya. Saya , Mba alif, Haryono dan Alwi meminta masing-masing satu
dari koleksinya dan beliau mempersilahkannya. Dan obrolan yang paling unik lagi
tentang sebuah koleksi beliau yang langka yaitu duri landak. Disebut langka
karena beliau pernah menanyakan kepada kolektor yang memiliki barang-barang
dari hewan seperti giginya macan, macan, buaya dan lain-lain. Namun tidak
memiliki duri landak tersebut. Langka dan unik itu menarik kita juga untuk
memintanya sebagai kenang-kenangan. Beliau tanpa ragu membolehkannya, saya dan
alwi berebut memperebutkan duri landak yang paling panjang dari semuanya. Saya
yang lebih sigap dari alwi dan mendapatkannya. Alwi sedikit kecewa dan saya
berbangga. Sedangkan Ali dan haryono tanpa berebutan meminta dan memilih duri
landak masing-masing.
Pak didi
menghantarkan saya, Ali dan Hadid ke rumah pak Ono. Pak Ono menerima dengan
baik kita meski kita berbeda Agama (Kami Muslim & beliau Kritiani
protestan). Saya sudah tidak merasa heran dengan kejadian ini karena sebelumnya
saat pelatihan sebelum live in, saya juga tinggal di Rumah penduduk yang
beragama sam dengan pak Ono. Yang unik di sini bahwa dalam satu keluarga juga
sering ditemui berbeda agama. Makanya salah satu teman saya Jalal berpendapat
bahwa di desa ini adalah miniatur nusantara dengan kebinekaannya. Bukanlah
pendapat yang asal terlontar dari mulutnya.
Beliau meminta
maaf bahwa istrinya sedang di Jakarta. Jadi, tidak ada orang yang bisa
memasakkan makanan. Kita berempat tidak kaget mendengar hal itu karena
sebelumnya pak didi sudah bilang begitu. Transaksi tanda tangan kwitansi oleh
pak Ono disaksikan kami. Kami disini tidak melakukan banyak aktifitas hanya
tiduran di kamar yang telah ditunjukkan pak Ono kepada kita. Selain itu, beliau
juga memberitahu kepada kita tempat mandi berada . Beliau terlihat terburu-buru saat memberitahukanya
karena mendapat tugas sore hari katanya.
Tidak berselang
lama pak Ono berangkat, haryono datang. Dia mengajak ali dan hadid ke Rumah pak
didi di atas. Sementara saya masih sibuk sendiri mempersiapkan peralatan untuk
acara badha isya nanti. Saya mengisi telepon genggam dan laptop. Yang paling
vital adalah telepon genggamku untuk mencatat dan merekam acara tersebut.
Istirahat sejak dalam kesendirian di kamar adalah aktifitasku.
Adzan maghrib
berkumandang mengisi kesunyian petang ini. Saya baru beranjak dari istirahat
ketika ingin Buang Air Kecil (BAK). Kamar mandi pun kuhampiri, sekalian dengan
itu membersihkan hadast kecil untuk sholat maghrib.
Saya beranjak ke
atas menyusul kawan-kawan yang lainnya. Nyanyi dari hewan yang berada di pohon
kelapa menyambut kedatanganku di tengah kesunyian petang dengan suara
"ngret..ngret...ngret". Mungkin karena suaranya yang begitu hewan itu
dinamakan tonggeret. Di rumah Bu Uti
(istri pak didi) mereka sedang asyik melihat foto-foto pelatihan kemaren dari
hari pertama sampai ketiga. Dan juga menampilkan keseruan tradisi nyiblung dan dayung
buyung siang tadi. Saya pun langsung gabung ditengah-tengah mereka dan membuat kaget
mereka atas kehadiranku yang datang secara tiba-tiba. Keasyikan melihat
foto-foto , hampir melalaikan saya untuk melaksanakan ibadah kepada gusti
Allah. Saya langsung melaksanakannya tanpa wudhu lagi karena masih memilikinya
dari Rumah pak Ono tadi. Bu uti merasa tidak enak karena saya sholat tanpa
tiker hanya beralas lantai saja. Sudah kedua kalinya dia melihat hal itu dan
menanyakan, "kenapa tidak bilang dulu kalau mau sholat(arti dari logat
sundanya)?", kalau bilang mah nanti disiapkan tikar sebagai alasnya.
"iya gak apa apa bu, waktunya sudah mau habis" timpal saya merespon
ibu.
Ketika Sholat
isya, tikar sebagai alas sudah disiapkan oleh bu Uti. Makasih bu atas
pengertiannya dan toleransinya meski dia penganut kepercayaan sunda wiwitan dalam
sanubariku. Setelah sholat isya, saya turun untuk pementasan seni budaya rakyat
sunda. Penampilan wayang golek menyedot beribu pasang mata untuk
menyaksikannya. Apalagi menurut pak didi ada seorang aktor pemain preman
pensiun ikut meramaikan acara tersebut. Dia adalah kang Komar. Yang diinget
oleh kebanyakan kita saat dia berbicara, "beb, beb , tolongin akang
beb" dengan logat kekhasannya. Saya hanya menyaksikan wayang golek tidak
begitu lama. Baru mengambil foto dengan sudut pandang yang berbeda saja wayang
golek sudah selesai. Entah mulai pukul berapa?, karena saya mencoba menanyakan
kepada penonton yang berbeda namun hasilnya nihil. Hanya gelengan kepala dari
pertanyaan yang diajukan, mungkin terkendala bahasa, itu salah satu dari praduga positif yang ada dalam benakku.
Dari segi
pencahayaan panggung, pesta rakyat tidak kalah dengan konser-konser band papan
atas. Bedanya bila konser berlimpah kemewahan yang tak merakyat hanya segelitir
orang yang menikmatinya. Namun pesta ini adalah gemerlap kesederhanaan yang
mewah berbalut kebudayaan lokal yang arif, mampu merangkul semua kalangan (baca
:merakyat) baik warga sekitar maupun di
luar daerah ini. Perbedaan yang ada kini tersimpan rapi di dada.
Penampilan
penari-penari dengan tarian yang berbeda-beda, memukau semua mata yang
menyaksikannya, tak terlebih saya sendiri. Saya tak mengenal lelah memegang
telepon genggam untuk merekam setiap jengkal pertunjukkan yang ada. Karena
moment yang langka ini harus diabdikan meski kapasitas memory harus diabiskan. Sampai
saya sempat meminjam memory 8GB dari Laela Alfiyah. Selain dia , ada syamsiah,
Lia Ameliah, Novi, dan Nur Indah. Saya ketemu mereka setelah wayang golek
selesai dan ikut ngumpul.
Saya merasa aneh
saat penampilan Tari buyung, antara latihan (persiapan penampilan) dan
penampilan berbeda dari segi jumlah penari yang menarikannya. Apakah ada proses
penyeleksian? Karena jumlah yang tampil lebih sedikit dari jumlah yang latihan
kemaren.
Acara puncak
malam itu menghadirkan seorang bupati purwokerto yang menjadi dalang wayang
orang. Beliau bernama Dedi Mulyadi. Jarang orang seperti beliau yang berprofesi
sebagai aparat negara namun juga sebagai pengiat budaya. Yang rela keliling ke
daerah –daerah pasundan untuk mengenalkan budaya sunda yang mulai digerus
zaman.
Keceriaan dan
gelak-tawa menghiasi malam minggu itu. Saya pun melebur dan ikut terhibur.
Penampilan dalang orang berisi canda-candaan orang sunda dibubuhi dakwah oleh
pak Bupati. Yang sangat disayangkan bahwa canda semakin malam menjurus ke
Kata-kata yang Jorok. Apalagi setelah kemunculan bintang tamu kang Komar yang
bertindak sebagai raja dan 2 wayang lainnya menjadi senopatinya. Karena malam
itu masih banyak anak-anak yang menyaksikan bahkan 3 orang anak juga dilibatkan
dalam pertunjukkan tersebut. Tetapi hal itu juga yang membuat meriah dan
menghilangkan kantuk para penonton.
Pawai Budaya, Simbol
Keberagaman dan gotong royong
Minggu
(04/10/2015), setelah acara selesai tak sengaja sambil memakan cimol yang
harganya 2 ribu, ikut nimbrung di kerumunan bapak-bapak yang sedang
memilih-milih iket kepala. Akhirnya, saya mengobrol dengan penjual iket itu.
Iket kepala yang memiliki penutup atas harganya Rp. 30.000,- dan yang tidak Rp.
25.000. Baju hitam
yang
biasa dipakai orang sunda wiwitan dihargai sepasang Rp. 130.000,-. Menurutnya
bahwa bedanya iket sunda dengan bali adalah terletak pada ujung segitiga di
atas iket pada iket sunda, yang tidak ditemui pada iket bali. Ternyata dahulu
iket kepala bisa menggambarkan status pemakainya menurut dia. Iket kepala yang
tak bertutup atas dan digambarkan mirip dengan bali itu menggambarkan status
pejabat. Dan yang memiliki penutup menggambarkan orang biasa. Dan terakhir yang
tertutup atau tidak namun memiliki bentuk persegi di belakang dan depan adalah
menggambarkan para bangsawan.
Penjual iket
kepala (belum tahu namanya) adalah penjual yang mengikut kemana perginya bapak
bupati Dedi Mulyadi pentas mengenalkan budaya sunda ke generasi-generasi Muda yang
hampir hilang itu katanya. Dia juga tidak sendiri dari Bandung bersama 3
kawannya yang berprofesi sama. Dia juga mengatakan 2 hari mendatang akan ke
Garut karena pak Bupati tampil di sana.
Saya menyudahi
obrolan dengan membeli iket yang melambangkan status para pejabat bercorakan
batik mega mendung berwarna merah. Saya memilih corak tersebut karena itu
berasal dari kotaku , Cirebon.
Tak terasa
obrolan yang ringan tadi memakan waktu 1 jam lamanya. Akhirnya saya pulang ke
penginapan penduduk pukul 01.00 dini hari.
Setelah sampai
di Rumah Pak Ono , masih terlihat Hadid dan Haryono sedang berbincang-bicang.
Saya tak menghiraukan mereka dan langsung mengistirahatkan anggota badan yang
cukup lelah ini.
Saya bangun
pukul 06.30 lalu membersihkan diri. Shubuhku yang kesiangan ditambal dengan
menyertakan sholat dhuha. Mas Ali bangun, dia membangunkan mas Haryono yang
katanya ada acara pukul 08:00 di Cirebon. Mas haryono pun bangun hanya mencuci
mukanya dan bergegas membawa peralatan yang dibawanya menuju Kota Cirebon. Mas
Ali setelah membangunkan mas Haryono langsung tidur lagi. Kalau kang Hadid
masih terlelap tidur. Sedangkan saya sendiri sibuk membuat field note. Pak Didi
Arnadi yang mengganggu keasyikan menulis kegiatan yang dialami dan dirasakan di
live in sebagai field note. Beliau mengingatkan kita untuk sarapan yang sudah
disediakan sembari tadi pukul 08:00 dan sekarang telah ditambah 30 menit
berlalu. Saya menghentikan kegiatan itu dan membangunkan mas Ali dan mas Hadid
yang masih tidur. Mereka pun bangun dan mencuci muka mereka masing-masing. Kita
bersama-sama pak Didi menuju rumahnya untuk sarapan. Ternyata alwi menginap di
Rumah pak didi hanya sendiri. Perkiraan saya tidak seperti itu. Dia juga belum
bangun dari tidurnya. Dia dibangunkan oleh saya untuk makan. Kita semua makan
duluan karena Alwi mandi dulu. Setelah makan mas Ali dan mas Hadid turun lagi
untuk membersihkan diri kata mereka. Sedangkan saya setelah makan, bersantai
melihat televisi. Tak berapa lama Mba Alif
datang dan makan bersama Alwi yang sedang makan juga. Disela-sela Mba Alif
makan, saya mengobrol dengan dia bahwa dia telah menghadiri acara apa. Dia
telah menghadiri acara mapaba PMII unswagati. Dia mengisi materi gender. Saya
kaget mendengarkan penyampaiannya tentang materi yang dibawakan kepada anggota
baru PMII yang katanya kurang lebih berjumlah 25 orang. Kalau dilihat dari
profil dia yamg berkecimpung juga di Komnas Perempuan. Pemilihan dia sebagai
pemateri gender adalah hal yang tepat karena dia sudah keranah implementasi
teori-teori gender dari fahmina.
Usai
berbincang-bincang saya pamit untuk turun ke Rumah pak Ono lagi. Di sana, saya
tidak menemui mas Ali dan mas Hadid yang mungkin sedang observasi ke Taman Sari
Paseban. Saya pun dike-sendiri-an melanjutkan mengetik melanjutkan field note
tak lama dan turun lagi ke paseban untuk
observasi.
Di Paseban, saya
memoto jadwal kegiatan seren taun. Setelah itu, saya melihat-melihat bazar dan
sedikit shopping untuk kenangan membeli sebuah tas kecil bermerek levi's 501 yang harganya Rp. 60.000 dan
sebuah pin berbentuk kujang kecil. Masuk ke taman sari paseban saya bertemu
dengan umar alwi sedang asyik dikerumunan 6 siswi SMA yang memawancarai pak
Wawan, salah satu penganut sunda wiwitan. Neng-neng geulis ini katanya sedang
mengerjakan tugas mata pelajaran seni budaya. Mereka ialah Nilam, Cindi, Sela,
Firli, Erlina, dan Dwi. Mereka, kebanyakan orang kuningan namun gak tahu
daerahnya sendiri. Saya sedikit memberitahu mereka apa yang saya tahu dari
acara ini. Rencananya saya dan mereka setelah sholat di mushola al hikmah ingin
ke tugu batu atau hutan kota Mayasih namun setelah melihat delman telah
berjajar di bahu jalan menandakan
persiapan arak-arakan budaya, saya mengurungkan niat menjadi pemandu mereka
untuk ke Mayasih.
Saya memotret
miniatur besar berbentuk Macam dari Blok Ciherang. Dan disusul dari arah berlawanan
muncul tak berapa lama miniatur besar berbentuk Naga, kerbau mengarap sawah, ibu
sedang menumbuk padi , dan Burung Garuda.
Miniiatur tersebut memiliki makna masing-masing. Macan melambangkan
kegagahan dan ketegasan tokoh yang bernama Siliwangi. Kerbau mengarap sawah dan
ibu sedang menumbuk padi melambangkan bahwa kehidupan masyarakat di sini
mayoritas bertani. Naga, entah melambangkan apa. Dan yang terakhir, Burung
Garuda melambangkan Pancasila kita dan kebinekaan yang ada di masyarakat sini.
Pak didi dan
saya binggung menghubungi teman-teman yang lain untuk turun, berkumpul di depan
gedung Tri panca Tunggal. Saya hanya memiliki nomor hp mas Alwi saja. Makanya
saya hanya mengirim pesan kepadanya untuk memberitahu teman-teman lain
berkumpul dan bersiap-siap. Namun tidak ada balasan dari dia. Saya berinisiatif
mencari yang lain namun bertemu dengan anak beasiswa ISIF , Karna. Dia bersama
yang lainnya , Adam dan Hadi. Mereka sedang memperhatikan pengobatan gratis dan
langsung praktek sendiri. Saya ikut melihat kesana. Pengobatannya dengan air RO
+. Penterapinya berasal dari Banten, nama beliau pak Tomo. Beliau menterapi orang yang sudah lanjut usia
dan mengakhiri acara terapinya dengan foto bersama. Karena acara Hahelaran /
pawai budaya akan segera di mulai saya pamit memisahkan diri menuju delman yang
telah di sewa.
Saya bertemu pak
Didi dan dipersilahkan untuk mengisi delman yang masih kosong. 2 delman sudah
terisi dengan teman-teman diantaranya kang Rosidin, kang Imbi, Hadid,dan Novi. Dari 4 delman, 2 delman masih kosong.
Saya mengisi delman masih kosong bersama Aulia. Untuk mengisi delman kosong di
belakang saya disarankan pindah oleh pak didi. Saya hanya ditemani 2 anak kecil
kawannya sang kusir. Saya sempat meminta anak kecil untuk memotretku untuk
kenang-kenangan.
Perjalanan sudah
cukup jauh, akhirnya kawan live in ada yang naik delman bersamaku. Mereka 2
bidadari yang turun dari ojek hehehe. Mereka ialah Nur Indah dan Lia Ameliyah.
Sebelum kedatangan mereka, saya sebagai pangeran yang dikawal 2 anak buah dan
seorang kusir. Setelah kedatangan mereka, saya menganggap diri sebagai pangeran
dengan 2 permaisuri, 1 anak buah dan sang pengendalian delman.
Saya
berselfi-selfian dengan mereka berdua dari berbagai sudut pandang delman. Saya
juga menanyakan tentang pribadi mereka. Nur Indah ialah seorang Gadis Santri
dari Madura. Menurutnya naik delman didaerahnya hanya Rp. 3.000,-. Dia juga
sangat kagum kepada masyarak di sini yang masih menjaga budayanya sendiri.
Karena budaya di tempat asalnya seperti karapan sapi sudah mulai hilang dan
jarang ditemui lagi. Mengenai ikat kepala, dia berpendapat hampir sama dengan
di sini. Yang membedakan dalam ikat kepala di Madura adalah berwarna
merah-putih. Baju adatnya juga sama hitam, bedanya di dalam ada kaos merah-putih.
Sedangkan Lia
Ameliah adalah seorang santri pondok Jambu Babakan Ciwaringin. Dia berasal dari
Indramayu. Mereka memiliki kesamaan dalam status anak bungsu (terakhir) dalam
keluarga mereka masing-masing.
Banyak pasang
mata di bahu jalan tertuju pada kita semua yang naik delman, mobil, motor dan
yang ikut serta dalam haleran (pawai budaya). Ada banyak juga, yang
mengabadikan moment ini. Contoh yang terlihat jelas pada kita bertiga yang
berselfi ria tiada habisnya. Dan yang lebih ekstrim lagi oleh kawan live in
juga ialah Aulia , Kang Ali dan kang hadid yang rela berlari-lari turun dari
delmannya untuk mendapatkan gambar dan rekaman yang indah. Kang Ali dengan
cucuran keringat pernah naik ke delman kita namun dengan berat hati saat di
jalan naik (jawa: tanjakan) disuruh turun oleh kusir dan sempat juga kita
meminta difotoin dari arah depan supaya kelihatan kudanya kepada dia. Kalau
Aulia , kita bertiga meminta difoto kepadanya dan terlihat dari pandangan kita
saat turun dan merekam pawai ini. Sedangkan kang hadid , saya tidak melihatnya
hanya mendengar ceritanya bahwa dia tadi ber-india-an dengan Aulia.
Sedikit
memperoleh informasi dari kusir, saya sempat membuka pertanyaan kudanya ada
namanya tidak? Dan berlanjut ke hal yang berkaitan dengan seren taun. Namun
sang kusir tidak tahu pasti. Kudanya tak memiliki nama seperti kuda yang di
delman bersama Aulia, namanya trendol. Harga kuda Rp. 9.000.000,- dari jawaban
mang kusir menjawab pertanyaan dari Amel. Dia pun menambahkan bahwa harganya
dibawah harga sapi yang bisa 20an juta. Saya timpal dengan "ya iyalah
kalau kuda dagingnya tidak diperjualbelikan dan dimakan paling susunya aja, itu
juga susu kuda liar aja, yang tidak liar enggak...hehehe". Dia pun tertawa
menanggapi candaku.
Tak terasa
perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 3 jam bagaikan 1 jam perjalanan.
Tanjakan panjang menuju ke paseban kini sedang dilewati. Di tengah perjalanan,
kami melewati seorang yang berkuda melambai-lambaikan tangan kependuduk
sekitar dan dikawal beberapa orang di
sampingnya. Dia juga melambaikan ke arah kami. Amel dan indah pun
bertanya-tanya siapa dia dan sedang apa?. Saya menjawabnya tanpa ragu dengan
kata tidak tahu. Si ade kecil yang diimajinasikan anak buah turun dari delman
dan mendorongnya supaya kuat naik ditanjakan yang cukup tinggi. Bapak-bapak
berpakaian hitam semua membantu delman yang tidak kuat naik termasuk delman
saya. Dari situ, Saya bisa melihat sikap gotong-royong dan tanpa pamrih dalam
tradisi ini.
Tempat
berakhirnya haleran di tempat yang sama yaitu Paseban juga. Saya, Amel, dan
Indah turun dari delman. ibu Uti
memberikan snack kepada saya dan menitip snack buat teman-teman yang lainnya.
Berbeda dan tetap bertoleransi
Senin
(05/10/2015), Saya berbincang-bincang dengan penghuni rumah pak Ono. Ternyata beliau
memiliki 5 orang anak. Kang Agus yang selalu berada di Rumah ialah anak bungsu.
Anak ke 1 dan ke 2 berada di jakarta. Mereka belum menikah. Sedangkan anak ke 3
dan ke 4 sudah menikah. Salah satu anak dari pernikahan anak ke 3 yaitu Adi,
sebelumnya saya mengira dia lah yang anak bungsu. Istri beliau sedang berada di
rumah menantunya. Istrinya adalah orang yang mengasuh Rama Anom putra dari Rama
Sepuh, P. Djatikusumah. Menurut beliau dahulu sering dan banyak kegiatan di
Paseban secara rutin. Pak Ono juga mengatakan bahwa dulunya semua masyarakat
cigugur penganut ADS (Agama Djawa Sunda)
.
Terus dipaksa memilih agama yang Lima , gak tahu tahun berapanya. Akhirnya
terpecah-pecah, setiap orang memilih agamanya masing-masing. Maka analisis saya
bahwa peranan ADS yang membuat kampung Cigugur menghargai keberagamaan dan
saling menghormati satu sama lain karena
mereka dulunya satu meski diharuskan terpecah-pecah. Dari situ, saya sedikit
memberi kesimpulan bahwa paham ADS atau Madraisme masih eksis sampai saat ini.
Dan paham ini memberi dampak positif untuk menghargai keberagaman SARA (Suku
Agma dan Ras) namun tetap toleransi satu sama lainnya. Ini mini Indonesia yang
Bhineka. Bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi satu tujuan. Ini tergambar
pada acara seren tahun. Mereka yang bhineka berkumpul dan ikut memeriahkan
serta menyukseskan acara tersebut.
Agama
Sunda adalah kepercayaan sejumlah
masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama
ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek
moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madraisatau agama Cigugur. Abdul
Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda,
menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu
kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang
tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak,
para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dll. Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000
orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah
pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000
orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di
kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama
Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda,
Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru
kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais —
yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah keturunan
dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika
pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke
daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa
Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan
tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai
pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang
digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan
pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda.
Pada masa
pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena
pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada
akhir 1960-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan
ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam
atau Katolik.
Kiai
Madrais wafat pada tahun 1939, dan
kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma
yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban
Adat Cara Karuhun Urang(PACKU).
Pangeran Djatikusuma
telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai
Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama.
Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun
kepercayaan lain. SUMBER WIKIPEDIA