Refleksi
pemetaaan desa seda
Sabtu(20/07/2013) malam minggu yang biasa dilakukan pemuda umumnya
bersiap untuk apel ke rumah pujaan hati meski sekarang bulan ramadhan, hal itu
terlihat dari banyaknya muda-mudi setelah shalat terawih dilaksanakan. Di sisi
lain, saya dan mas diaz tepatnya pukul 14:10 mulai menuju ke kuningan, cigugur.
Sebelum kita bersengketa masalah motor(yamaha vegar) yang bisa gak dibawa ke
gunung yang jalannya naik?. Berapa menit kemudian, pak satpam menjadi penengah
sehingga kita akhirnya berangkat jua.
Setelah perjalanan memakan waktu kurang lebih 1 jam, pukul 15:00.
Selang berapa menit panggilan illahi mengundang kita untuk memenuhi kewajiban
kita. Tak ambil pusing , saya beranjak melangkahkan kaki pamit ke kawan-kawan
untuk memenuhi panggilan.

Pukul 15:50, kami
berangkat ke desa Seda tempat pemetaan. Desa Seda adalah Desa berada tepat
dilereng gunung Ciremai. Kami beristirahat dan bermalam di rumah Pak Yuri
Ahmad. Menurut pak Yuri, awalannya kebijakan untuk penanaman lahan disekitar kaki
gunung adalah masyakarat diperkenankan untuk mengolah lahan yang gundul setelah
lahan itu sudah ditumbuhi pohon baru dipindahkan lagi ke lahan gundul lainnya.
Kebijakan itu berlaku sebelum PHBM(Penanaman Hutan Bersama Masyarakat). Ketika
PHBM diberlakukan, masyarakat hanya diperkenakan menanam tanaman keras saja,
tidak seperti kebijakan sebelumnya masih bisa tanaman tumangsari. Belum
merasakan hasil tanaman keras yang ditanam, kebijakan baru diberlakukan lagi.
Kebijakan ini melarang masyarakat memelihara tanaman meski boleh menuai hasil.
Bagaimana mendapatkan hasil yang banyak kalau masyarakat tidak diperbolehkan
merawat/memelihara tanaman itu?. Kebijakan ini yaitu Taman Nasional(TN).
Kebijakan ini membuat sebuah dilema dan keresahan dikalangan masyarakat sekitar
Gunung Ciremai khusus. Masyarakat yang mengantungkan/memenuhi kebutuhan
sehari-hari dari hasil bercocok tanam dan memanfaatkan kekayaan alam Gunung
Ciremai. Sungguh ironis tetapi kenyataannya ada, semenjak kebijakan TN
diberlakukan, sebagian masyarakat masih melakukan/memanfaatkan kekayaan hutan
dengan sembunyi-sembunyi. Seperti hidup di daerah yang asing meski faktanya
daerah kelahirannya sendiri, mungkin hal itu yang terjadi salah satunya
masyarakat desa Seda.