Akar Konflik dan Legitimasi
Sosial
diajukan untuk
tugas makalah dengan :
Dosen : Amsar
A. Dulmanan M,Si
Mata Kuliah: HAM
Disusun oleh :
Kayan Manggala
Institut Study Islam Fahmina (ISIF)
jl. Swasembada
NO.15 Majasem-Karyamulya Kota Cirebon Jawa Barat 45132
Kata Pengantar
Puji syukur atas karunia-Nya,Allah
SWT yang selalu melimpahkan nikmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya atas
kehendak-Nya. Alhamdulillah dengan segala kekuatan yang telah Allah berikan,
sehingga penulis mampu yang
menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul ‘‘Akar Konflik dan
Legalitas Sosial’’ untuk tugas Mata Kuliah Study HAM dengan dosen Bapak Amsar A
Dulmanan M.Si.
Sholawat
beserta salam semoga Allah SWT tetap mencurahkannya kepada baginda kita Nabi
Muhammad SAW,beserta keluarganya, para sahabat-sahabatnya, dan kita semua
selaku umatnya semoga mendafatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat.
Kami sadari dalam penulisam makalah
ini banyak kekurangannya, karena keterbatasan pengetahuan kami dalam mencari
referensi, dan kami hanya berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang
membacanya.
Penyusun
Cirebon, Januari 2013
Daftar
isi
Kata pengantar.....................................................................................................................i
Daftar
isi................................................................................................................................ii
BabI :
Pendahuluan...............................................................................................1
Ø Latar
belakang..................................................................................1
Ø Hal-hal
yang akan dibahas Makalah...........................................3
Bab II :
Pembahasan...............................................................................................4
Pengertian
Konflik......................................................................4
Faktor-faktor
Penyebab Konflik.................................................4
Jenis-jenis
Konflik......................................................................4
Akibat
Konflik...................................................................................5
Contoh
Konflik...........................................................................5
Isi
Konflik...................................................................................6
Fenomena & Dampak Konflik...................................................7
Cara
Penanganan Konflik...........................................................8
Legitimasi
Sosial...........................................................................9
Bab III : Penutup............................................................................................10
Kesimpulan...............................................................................10
Saran.........................................................................................10
Daftar
Pustaka...........................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius
berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang
bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya
merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik,
sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas
kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial,
ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi
ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain
adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai
potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu
menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan
karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama
dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak
segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada
ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal.
Perlakuan Negara yang demikian kean diapresiasi dan diinternalisasi oleh
masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang
bias state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal
yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi.
Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat
ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka
terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara
atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian
menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya
diyakini “berbeda”. Dari sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh
legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara
sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran
antidemokrasi di kalangan masyarakat.
Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bisa state masyarakat
semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik. Munculnya
reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan
kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan
kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang
mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi
kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh,
Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada
the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi
kemanusiaan itu.
Jadi, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar
aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau
sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana
dan konstruksi pemikiran masyarakat. Di sini kita sebenarnya berada dalam area
dominasi dan hegemoni negara seperti yang dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio
Gramsci.
Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan bukan revolusi
sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat, cenderung berkompromi
dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang disebut Samuel P
Huntington sebagai konsekuensi reformasi. Sementara revolusi, karena sifatnya
yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan yang lama dan
anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas negara Uni
Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan revolusi
terhadap anasir kekuatan lama.
Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik sedemikian
rupa sehingga diujudkan struktur kekuasaan yang benar-benar baru. Itulah
mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan karena
lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi seorang
demokrat, namun untuk menjadi seorang revolusioner sejati kita pun acap tidak
punya nyali.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap
elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi
akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan
metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan
sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif
yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.
Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun struktur dan
sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang
lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus secara
terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah
baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk
bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi.
Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan
demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk
membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita
tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang
sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin
kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah
momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi
semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa
dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil
(stable democracy).
Selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa
benturan yang berarti. Falsafat Pancasila yang bertumpu pada agama lewat
Ketuhanan Yang Maha Esa memberi konsep kedamaian abadi. Tiba-tiba pada masa
reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat sepertinya ikut
mengusik kerukunan itu, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi yang
mendalam. Ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari. Semacam muncul stimulus
perubah kepribadian pelbagai pihak dalam waktu sekejap.
2. Hal yang Akan Dibahas dalam Makalah
Hal-hal
yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
a)
Pengertian konflik
b)
Faktor penyebab konflik
c)
Jenis-jenis konflik
d)
Akibat konflik
e)
Contoh konflik
f)
Isi konflik
g)
Fenomena dan dampak konflik
h)
Cara penanganan konflik
i)
Legitimasi Sosial
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua
orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan
dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di
masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
2. Faktor-faktor penyebab konflik
Faktor-faktor
penyebab konflik diantaranya :
• Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang
berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya.
• Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut
bidang ekonomi, politik, dan sosial.
• Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
3. Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dapat dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara
peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role).
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
4. Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami
konflik dengan kelompok lain.
1. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
2. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci,
saling curiga dll.
3. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
4. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan
pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan
percobaan untuk “memenangkan” konflik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
• Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk
menghindari konflik.
5. Contoh konflik
Kita
akan coba menengok konflik di dalam negeri dan mancanegara antara lainnya yaitu
:
a) Berdasarkan jenisnya, konflik
sosial yang terjadi di Indonesia ini sebagaian besar merupakan Konflik sosial
yang berlatar belakang SARA (Suku, Agama, Ras & Antar Golongan). Seperti
konflik sosial berlatar belakang Agama di Ambon (1999-2002), di Poso
(1998-2001) dan di Sampang Madura (2012), kemudian konflik sosial bermotif suku
atau etnis di Sampit (2001) yaitu antara suku Dayak dan Suku Madura sebagai
Pendatang serta akhir-akhir ini yaitu konflik di Lampung Selatan (2012) yang
memiliki motif SARA di dalamnya.
b) Konflik Vietnam berubah
menjadi perang.
c) Konflik Timur Tengah
merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal
ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina.
d) Konflik Katolik-Protestan di
Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
e) Banyak konflik yang terjadi
karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat
Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.
6. Isi konflik
Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan pun.
Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah
realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik, perubahan dan
kehidupan akan bersifat permanen pula.
Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi liar dan
kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi tatanan berbangsa dan
bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena itu, manajemen politik
yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik, sehingga dapat menjadinya
sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan yang menghancurkan.
Kemampuan manajemen politik itu akan ditentukan oleh seberapa jauh dapat
menyerap hakikat pendidikan multikultural. Jika tidak, maka manajemen politik
akan berubah menjadi manajemen bisnis politik konflik, yaitu menjadikan
konflik, sebagai bisnis politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar
bagi kepentingan dirinya sendiri.
Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami pasang surut.
Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa makin menguat dan
bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan kekuatan
perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan kemerdekaan.
Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat perlawanan
terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena agama yang
mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa yang lainnya.
Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus dilawan oleh
siapa pun.
Akan tetapi, setelah kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah kita untuk menata
kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan usaha membagi-bagi
kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan membagi kekuasaan ternyata mempunyai
kaitan dengan akar-akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan
keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang berbasis fanatisme
ras, suku dan keagamaan.
Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan membuat persatuan
bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan sering kali memperlemah rasa
persatuan dan solidaritas kebangsaan.
Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia harus menjadi
perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik bangsa agar
tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia. Salah
satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang dilakukan
secara aktual, cerdas, dan jujur.
Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya,
termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam
kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya
manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.
Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan
yang ada, tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan yang
multidimensional. Dan, di dalamnya adalah pendidikan multikultural
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu
sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa
yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara
tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman
adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam masyarakat Indonesia,
setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati
wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat
sumber-sumber daya dimana warga masyarakat sukubangsa tersebut memanfaatkan
untuk kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak
kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga
secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan
organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang
Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan
minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan
terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual
maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional ( Penekanan dalam
masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa
telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara
pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan
dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari
permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas
sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan
sistem nasional atau pemerintah pusat.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah
kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial,
menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas
diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber
daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan
dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya
batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan
hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang
pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing.
Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan
ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut
diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan .
7. Fenomena dan Dampak Konflik
Realita konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut,
caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara sadis atau penuh
pertentangan bathin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir,
penghilangan dokumen-dokumen penting, membakar, dll.
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang
terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah
wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan
menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan
masing-masing pihak adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada
kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan
dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi.
Sebesar 15% responden menyatakan bahwa dampak konflik adalah jatuhnya korban
jiwa dalam jumlah besar, 11,4 % menyatakan kehilangan pekerjaan, 11,6%
menyatakan konflik telah membuat mereka yang tadinya akur dan rukun terpaksa
harus saling berkelahi karena perbedaan identitas, bahkan 12,4% menyatakan
bahwa perkelahian dan konflik tersebut mengakibatkan putusnya hubungan
kekeluargaan diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau
agama. Kerugian materiil, berupa kerusakan sarana ibadah dan sarana pendidikan
masing-masing diutarakan oleh 9,8% dan 7,8% resoponden.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius,
justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu sebesar 16,7% responden
menyatakan konflik telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa
selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa
saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat
(distrust), dinyatakan oleh 15% responden.
Dampak konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga dan sanak
saudara dari kepulauan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga ibu kota negara
datang membantu keluarganya secara ekonomi, tenaga, ikut berperang dll. Di
sudut agama terpanggil rasa solidaritas se-agama dari pelbagai organisasi
sosial keagamaan dari pelbagai penjuru tanah air hingga dari luar negeri.
Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para pencuri, menyaru sebagai
penyelamat-pemihak ternyata mejarah milik semua pihak.
Pasca konflik, ekses masih berlanjut, perumahan, lembaga pendidikan,
perkantoran, sarana ibadah musnah setidaknya hancur, kehilangan harta benda,
mata pencaharian dan sanak saudara, orang cacat, putus sekolah, penderita
keabnormalan jiwa, saling curiga, hari depan yang suram, pihak keamanan dan
birokrasi kehilangan kharisma, dll.
Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan.
Trauma komunal ini juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua
belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan
untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang
berkonflik
8. Cara Penanganan Konflik
Konflik yang terjadi di lima wilayah Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Ternate,
menampilkan interaksi yang rumit antara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Namun
demikian semua kasus di tiap wilayah mewakili jenis konflik yang mengakar dan
berkepanjangan. Karenanya, kesemuanya membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda
dan institusi yang berbeda pula untuk mengelola pertikaian dan membangun
perdamaian yang berkelanjutan. Lebih jauh, masing-masing membutuhkan penciptaan
struktur yang terancang baik yang sengaja ditujukan untuk kebutuhan yang
spesifik. Karena itu sesungguhnya, tidak ada ”resep manjur” yang dapat
diterapkan untuk mengatasi segala jenis konflik.
Di sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama ini sudah
dilakukan pemerintah. Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah cenderung
”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari respon masyarakat yang menyatakan
bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan fisik materiil,
seperti sembako, atau tempat penampungan hanya berkisar pada fasilitasi dialog (diutarakan
oleh 46,3% responden), penjagaan oleh aparat keamanan (34,4%) dan sosialisasi
perdamaian (19,2%).
Upaya-upaya yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi
sebagaimana dikemukakan dalam point cara penanganan konflik, seperti penguatan
basis sosial dan ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi
secara lebih adil dan seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah
seringkali terjebak dalam paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya
mengelola konflik.
Dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben
Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka
respon masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik
yang mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir
itu, dimana sebagian besar responden 73,2% menyatakan agar penyelesaian konflik
dilakukan sendiri oleh masyarakat di masing-masing desa dengan melibatkan para
tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang
kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar penyelesaian konflik dilakukan
di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka agama. Hanya 7,5%
saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di kantor polisi serta 5,7% saja
yang menyatakan agar diselesaikan di pengadilan.
Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga masyarakat
daerah konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih mengembangkan
sikap saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain itu juga harus
dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur dan tidak
mengelompok secara eksklusif (16,6%), serta mau bergotong (15,5%).
9. Legitimasi Sosial
Dalam kamus populer kata
legitimasi berarti surat keterangan yang mengesahkan atau membenarkan.
Sedangkan kata sosial berarti pola perilaku seseorang terhadap lingkungannya.
Jadi arti legitimasi sosial adalah pola
perilaku yang sesuai dengan pola perilaku masyarakat di lingkungannya.
Legitimasi, dalam èlmu politik, maknané, sepira jeroné masyarakat gelem
nampa lan ngakoni kawenangan, kaputusan utawa kawicaksanan sawijining pemimpin.
Jroning kontèks legitimasi, hubungan antara pemimpin lan masyarakat kang
dipimpin luwih ditentokaké déning kaputusan masyarakat kanggo nampa apa nulak
kawicaksanan kang dipilih déning sang pemimpin.Legitimasi bisa digayuh kanthi
werna-werna cara, kang bisa diklompokaké dadi telung kategori yakuwi sacara
simbolis, prosedural utawa material, déné Max Weber mènèhi watesan telung
sumber kanggo nggayuh legitimasi yakuwi cara tradisional, karisma lan
legal/rasional.Saka cara lan sumber mau lair sawetara tipe legitimasi yaiku:
legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi,
legitimasi prosedural lan legitimasi instrumental
Arti tautan diatas adalah “legitimasi dalam ilmu
politik, maknanya, sebagaimana dalamnya masyarakat mau memahami dan melakukan
kewenangan, keputusan atau kebijaksanaan seorang pemimpin. Dalam konteks
legitimasi hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih
ditentukan dengan keputusan masyarakat membuat pemahaman apa menolak
kebijaksanaan yang dipilih dengan sang pemimpin. Legitimasi bisa dipahami
dengan berbagai cara, yang bisa dikelompokkan jdi tiga katagori yaitu secara
simbolis, prosedural atau material, menurut Max Weber bahwa ada 3 sumber untuk
memahami legitimasi yaitu cara tradisional, karisma dan legal/rasional.
Beberapa cara dan sumber lain seperti tipe legitimasi yaitu legitimasi
tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi
prosedural dan ledgitimasi instrumental.
BAB III
PENUTUP
a.Kesimpulan
Dalam pen-Takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara maritim yang
masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah dan masyarakat
Indonesia masih harus belajar banyak dari sejarah perjalanannya sendiri tentang
bagaimana mengelola kemajemukan tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan
bangsa. Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik (etnic
group) atau suku bangsa beserta tradisi-budayanya itu, tidak hanya berpeluang
menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa mendatang, tetapi juga
berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi
integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial-budaya
itu tidak dapat dikelola dengan baik.
Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk, kelompok-kelompok
etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah atribut atau
ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang
dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan atribut-atribut
budaya yang ada, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan
paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul daerah, sejarah sosial, pakaian
tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau pembeda
suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Kebudayaan dan atribut
sosial-budaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil,
konsisten, dan bertahan lama.
Konflik terjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi
dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam
satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi
kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu
dilaterbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama.
Upaya itu tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit dan pelaksana
pihak keamanan dan birokrasi mayoritas masih komit dengan negara kesatuan
sehingga serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai dampaknya.
Masyarakat dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basic yang kuat
memasuki kancah konflik bahkan sebaliknya dari semula sudah terbiasa hidup
rukun dan damai dalam pelbagai perbedaan.
Namun begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan cerdas, ditambah
dengan nuansa reformasi secara mencuatnya konsep HAM, mereka menginginkan agar
pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan kehidupan mereka, seyogyanya
mengikutsertakannya dalam merancang program itu sehingga sesuai sasaran
b. Saran
Semoga makalah yang kami susun dapat
bermanfaat bagi pembaca ataupun untuk kami sebagai penyusun. Meskipun makalah
ini belum seperti harapan yang pembaca inginkan. Maka dari itu, kami menerima
saran dan kritik pembaca supaya makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/11/opini/arke45.htm
www.wikipedia.org / wiki / konflik
www.kompas.com
www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps2.htm
http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2005/rusmin.htm
Kamus populer (Abdul Qodir,
Wahyunigsih.2010.Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA kelas XI.Cirebon :
Fokus)
Abdul Qodir,
Wahyunigsih.2010.Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA kelas XI.Cirebon :
Fokus.
Ramlan Surbakti, 1992,
http://jv.wikipedia.org/wiki/Legitimasi