HAK
ASASI MANUSIA
oleh :
KAYAN MANGGALA
INSTITUT STUDY ISLAM FAHMINA
JL. SWASEMBADA NO. 15 MAJASEM-KARYA MULYA
KOTA CIREBON-JAWA BARAT
2012
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR
ISI .......................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN .................................................................................. 2
2.1 Konflik ........................................................................................... 2
2.2 Identitas Nasional Bangsa Indonesia............................................. 3
2.3 Pancasila Sebagai Identitas dan Nilai Luhur
Bangsa .................... 4
2.4 Korupsi sebagai Wujud Krisis Identitas Bangsa
........................... 5
2.5 Proses Pembentukan Identitas Nasional ........................................ 7
BAB
III KESIMPULAN .................................................................................... 8
DAFTAR
PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Dengan
ucapan syukur kehadirat Allah SWT, dimana semua mahkluk tunduk dan patuh
dibawah panji-panji kelcuasaanNYA baik dengan rasa senang atau terpaksa, dengan
rasa gembira atau berduka,maka keberuntungan yang besar terhadap orang-orang
yang datang kehadirat Allah SWT. dengan perasaan yang senang dan ridho terhadap
ketentuan yang berlaku atas segenap mahklukNYA. Maka keberuntungan yamg
besarlah bagi orang-orang yang telah dianugerahi pemikiran yang terang,yang
dengannya dia bisa menebarkan dan mengajarkan benih-benih keilmuan yang akan
menjadi wasilah bagi dirinya untuk menggapai kedudukan tertinggi diantara
mahiduk yang kurang berilimu.
Sholawat
serta salam semoga tercurah atas pimimpin umat ialah nabi besar Muhammad saw
.walaupun ada diantara umatnya yang senantiasa menghinanya dengan
kebodohannya,seolah-olah dia adalah makhluk terhebat yang pernah ada demi
menutupi kekerdilan yang ada pada dirinya,dan tak lupa rahmat Allah tercurah
pula untuk keluarga,sahabat-sahabatnya dan kepada umatnya yang senantiasa
berjuang menegakkan ajaran-ajarannya,demi sebuah harapan yaitu kemuliaan disisi
Allah dzat yang Maha Mulia.dan selanjutnya.
Untuk
memenuhi tugas penulisan makalah dan mata kuliah HAM, dengan kemampuan yang ada
pada karni yang masih jauh dan kata bisa, kami berterima kasih sekali kepada
dosen pembimbing kami sebab dengan adanya tugas penulisan membuat kami terpacu
untuk semakin mendalami dalam mempelajari tentang arti dan makna HAM.
BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan
bangsa Indonesia
dewasa ini tengah rnenghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya
konflik-konflik dalam masyarakat,baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dan sistem kekuasaan Orde
Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, clan hegemonik. Sistem
tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya
dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan
bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengernbangan demokrasi
ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain
adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai
potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu
menyeraganikan setiap. elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan.
karsanya, tanpa harus nierasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersarn.a
dalam kepelbagalan. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan
untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara
yang maunya serba seragam, serba tunggal.
Perlakuan
Negara yang demikian kian diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam
kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias state itu
mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat
diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi. Hal itu dapat kita saksikan dari
kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan
elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadap pluralitas kurang
lebih sania dan sebangun dengan penerimaan negara atas fakta
sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan
pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikimya diyakini
“berbeda”. Dan sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi
rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai
faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di
kalangan masyarakat.
Ketika
negara mengalami clefisit otonitas, kesadaran bisa state masyarakat semakin
menonjol dalam pelbagai pola penilaku sosial dan politik. Munculnya refonrnasi
telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan
kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan
kepentingan itu masih belurn terlepas dan kesadaran bias state yang
mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk
tragedi kemanusiaañ yang amat memulukan seperti kita saksikan dewasa mi di
Aceh, Ambon, Sambas, Papu.a, dan beberapa
daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the
powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi
kemanusiaan itu.
Jadi,
reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek
struktufal dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau
sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana
dan konstruksi pemikiran masyarakat. Di sini kita sebenarnya berada dalam area
dominasi dan hegemoni negara seperti yang dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio
Grameci.
Kenyataan
bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam
masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi
reformasi, Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan metode gerakan
sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan sosial apa pun
dalam masyarakat harus mulai menyediakan altematif-altematif yang lebih konkret
kepada para pengambil keputusan.
Mengapa
demikian? Karena kekuasaan negara hari mi, meskipun struktur dan sistemnya
masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik
ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus secara
terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemenintah
baru untuk melaksanakan agenda reforinasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk
bekerzja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi.
Dalam
konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik
pemenintah maupun masyarakat bertanggungjawab untuk mcmbongkar struktur dan
kultur dalarn masyarakat yang masih diskniminatif, Kita tidak boleh lagi
menyerahkan segala urusan kepda pemenintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena
dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran
strategis, sementara pemenintah akan semakin dominan. Inilah momentum yang
tepat bagi segenap warga negara Indonesia
untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan
proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau
minimal demokrasi yang stabil (stable
democracy).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Identtas Nasional Bagi Sebuah Bangsa
Kata “identitas’ berasal dan kata identity berarti ciri-ciri,
tanda-tanda, atau jati diRI yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang
membedakannya dengan yang lain. Sedangkan Nasiona1” menunjuk pada sifat khas
kelompok yang memiliki ciri-ciRIi kesamaan, baIk fisik seperti, budaya, agama,
bahasa, maupun non-fisik seperti, keinginan, cita-cita, dan tujuan. Jadi,
“Identitas nasional” adalah identitas suatu kelonipok masyarakat yang memiliki
ciri dan melahirkan tindakan secara kolektif yang dibeRIi sebutan nasional
Menurut Koenta Wibisono (2005) pengertian ldentitas Nasional pada
hakikatnya adalah “manfestasi nilai-nilai hudaya yang tumbuh dan berkernbang
dalam aspek kehidupan suatu bangsa (nasional) dengan ciri-ciri khas, dan dengan
yang khas tadi suatu ban gsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya”.
Identitas nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar
tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktuall yang berkembang dalarn
masyarakat.
Adapun unsur-unsur pernbentuk identitas nasional adalah geografi, suku
bangsa, agama, kebudayaan, bahasa .lndonesia.Adapun unsur pembebtuk. identitas
nasional bangsa Indonesia, yaitu:1) Wilayah geografiWilayah geografi IndOnesia
secara histonis adalah wilayah yang semulamenjadi wilayah kekuasaan dua
kerajaan besar, yakni Sriwijaya danMajapahit, meliputi seluruh wilayah
nusantara, sebagian Thailand, Malaysia, Singapura, sampai ke Filipina.
2.2 Peran Pemuda Dalam Menegakkan Identitas
Nasional Indonesia
di Era Global
Pemuda
sebagai agent of change sudah
semestinya bisa mernbawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan pemikiran,
jiwa, dan semangat yang masih menggelora dalam din pemuda diharapkan dapat
menjadi modal dalam membangun bangsa atau setidaknya melanjutkan pembangunan
yang telah dirintis sebelumnya,
Dalam
kaitannya dengan penjagaan identitas bangsa yang berupa kebudayaan bangsa dan
Pancasila, pemuda memiliki peranan yang sangat penting. Dalam kaitannya dengan
kebudayaan, faktor yang paling penting adalah rasa kepemilikan. Hal ini menjadi
pondasi bagi pemuda untuk bisa mencinta budayannya sendiri, tanpa harus menelan
secara mentah-mentah setiap budaya asing yang masuk. Pengklaiman beberapa
budaya bangsa Indonseia oleh Malaysia
dapat kita jadikan contoh bahwa kita belum seratus persen memiliki rasa
kepemilikan terhadap budaya bangsa. Dalam hal ini sudah terlihat jelas peran
pemuda, tidak hanya memiliki rasa kepemilikan terhadap budaya, melainkan
sebagai pemuda yang menjadi agen perubah seharusnya mampu memberikan
pengetahuan kepada masyarakat Indonesia
terkait dengan kebudayaan bangsa. Sehingga budaya bangsa yang merupakan nilai
luhur nenek moyang dapat terjaga dan terlestarikan keberadaannya.
Kemudian
dalam kaitannya pancasila sebagai identitas Nasional Bangsa, peran pemuda juga
sangat penting dalam penegakan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
pancasila. Pancasila merupakan dasar Negara yang dijadikan acuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila mampu menyatukan bangsa Indonesia
yang bersuku-suku dan sabang sampai merauke. Pemuda sebagai tulang punggung
bangsa dimasa yang akan datang sudah sepantasnya menjalankan apa yang
terkandung dalam pancasila. Sehingga nilai-nilai luhur pancasila dapat merasuk
kedalarn kalbu para pemuda yang menjadikan pemuda cinta dan bangga terhadap
tanah airnya. Serta akan tercermin ke dalam setiap tingkah laku para pemuda
yang dapat dijadikan sebagai identitas bangsa indonesia yang berbudi luhur.
2.3 Krisis Identitas dalam Kehidupan
Berbangsa
Era
globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua
identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin
memperkokoh jati dirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada problem
krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal mi didukung
dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia
yang dan segi perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai
masyarakat Indonesia.
Padahal bangsa mi mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis
dan fundamentalis, yaitu Pancasila. Krisis identitas yang mulai tergerus itulah
yang menyebabkan banyaknya perbedaan diantara golongan dan berdampak timbulnya
konflik ataupun permusuhan.
Konflik
tersebut menjadi konflik yang struktural, artinya konflik tersebut berlanjut
dan dengan adanya tindakan nyata dan kedua belah pihak untuk saling memenangkan
argumen mereka. Menurut MUI, pemenintah kurang tegas dalam menangani masalah
tersebut sehingga menimbulkan masalah barn yang bersifat struktural dan
berkelanjutan.
Faktor
yang mendorong knisis identitas dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan
bernegara terdiri dan dua faktor yang mendasar, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang teriadi karena adanya
kegiatan-kegiatan didalam sub sistem tersebut, yaitu ketika masa Orde Barn
Pancasila dijadikan sebagai supported regime dan pada masa sekarang menjadi
favourable dalam kekuasaan. Selain itu lengsernya kekuasaan Soeharto yang
menandakan jatuhnya Orde Barn sebagai bentuk kekuasaan yang otoritanian.
Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor pendorong isu-isu identitas dan
luar substansi, salah satunya yaitu setelah kehancuran Perang Dingin
(1947-1991) antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat sehingga memperkuat
pertahanan keamanan di Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat disebut
sebagai polisi dunia. Namun pengakuat sebagai polisi dunia pada negara Amerika
Serikat tidak bisa dilakukan, hal tersebut dikarenakan jika Amerika Serikat
menjadi polisi dunia maka Amerika Serikat berhak dan berkewajiban untuk
melindungi semua negara di dunia ini. Adanya faktor-faktor tersebut Indonesia tidak lepas dan dampaknya yaitu adanya
krisis identitas bangsa, dimana paham-paham yang muncul ditengah-tengah
kehidupan masyarakat Indonesia.
Ketika itu, banyak paham yang masuk seperti globalisasi dan fundamentalis.
2.4 Konflik
Konflik
berasal dan kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Faktor..faktor
penyebab konflik diantaranya:
·
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan
pendinian dan perasaari.
·
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
·
Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok, diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial.
·
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan
mendadak dalam masyarakat.
Menurut
Dahrendorf, konflik dapat dibedakan menjadi 3 macam:
·
Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi),
misalnya antara peranan-peranan dalam Keluarga atau profesi (konflik peran
(role).
·
Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar
keluarga, antar gank). konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir
(polisi melawan massa).
·
Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang
saudara).
Hasil dan sebuah konflik adalah sebagai berikut: meningkatkan solidaritas
sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kclompok lain.
1.
Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
2.
Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya
rasa dendam, benci, saling curiga dli.
3
Kerusakan harta bencla dan hilangnyajiwa manusia.
4
Dorninasi bahkan penakiukan salah satu pihak yang
terlibat dalam konflik.
Contoh konfilk
Kita akan coba menengok konflik di dalam negeri dan mancanegara antara
lainnya yaitu:
a)
Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang
tidak terkontrol, selungga timbul kekerasan. hal mi dapat dilihat dalam konflik
Israel
dan Palestina,
b)
Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan
contoh konflik bersejarah lainnya.
c)
Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan
etnis. mi termasuk konflik Bosnia-Kroasia (Ithat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.
Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan
pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah
realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik, perubahan dan
kehidupan akan bersifat permanen pula. Kemampuan manajemen politik itu akan
ditentukan oleh seberapa jauh dapat menyerap hakikat pendidikan multikultural.
Jika tidak, maka manajemen politik akan berubah menjadi manajernen bisnis
politik konflik, yaitu menjadikan konflik, sebagai bisnis po1itik untuk
rnendapatkan kekuasaan yang lebih besar bagi kepentingan dirinya sendiri.
Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan membuat
persatuan bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan seringkali
memperlemah rasa persatuan dan solidaritas kebangsaan. Konflik sosial yang mewarnai
pasang surutnya persatuan Indonesia
harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik
bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia.
Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang
dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada
bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber
dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak
atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wiiayah-wilayah kedaulatan dan
kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai
sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi
sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan
solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan
sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dan
pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah
ditegaskannya batas=batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat
berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi
setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang,
dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mernpunyai buntut
perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat
terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan
diskrirnitiasi dan yang paling ringan.
Fenomena dan Dampak Konflik
Konflik
yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi
dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan
bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadi mata
rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak
adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan
melalui jalan kekerasan pula.
Dampak
terbesar dan konflik yang mernbutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru
adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu sebesar 16,7% responden
menyatakan konflik telah membuat mereka selalu diliinggapi rasa takut dan
merasa selalu tidak aman, Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat
timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga
masyarakat (distrust), dinyatakan oleh 15% responden.
Dampak
konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga dan sanak saudara dan
kepulauan. kecamatan, kabupaten, propinsi hingga ibu kota negara datang membantu keluarganya
secara ekonomi, tenaga, ikut berperang dll. Di sudut agama terpanggil nasa
solidaritas se-agama dan pelbagai organisasi sosial keagamaan dan pelbagai
penjuru tanah air hingga dan luar negeni. Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh
para pencuri, menyaru sebagai penyelamat-pemihak ternyata mejarah milik semua
pihak.
Trauma
komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma
komunal ini juga akan melahirkan ‘pahlaawan’ dan ‘martir’ dan kedua belah pihak
yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk
memperdalarn perpecahan yang nyata diantara kelornpok identitas yang
berkonflik.
Cara Penanganan Konflik
Konflik
yang terjadi di lima wilayah Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Temate, inenampilkan interaksi yang rumit
antara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Namun demikian semua kasus di tiap
wilayah mewakili jenis konflik yang mengakar dan berkepanjangan. Karenanya,
kesemuanya membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda
dan institusi yang berbeda pula untuk mengelola pertikaian dan membangun
perdamaian yang berkelanjutan. Lebih jauh, rnasing-masing membutuhkan
penciptaan struktur yang terancang baik yang sengaja ditujukan untuk kebutuhan
yang spesifik. Karena itu sesungguhnya, tidak ada “resep manjur” yang dapat
diterapkan untuk mengatasi segala jenis konflik.
Upaya-upaya
yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi sebagaimana
dikemukakan dalam point cara penanganan konflik, seperti penguatan basis sosial
dan ekonomi rnasyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih
adil dan seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah seringkali
terjebak dalam paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya mengelola konflik.
Dalam
konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly,
Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka respon
masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang
mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu,
dimana sebagian besar responden 73,2% menyatakan agar penyelesaian konflik
dilakukan sendiri oleh masyarakat di masing-masing desa dengan melibatkan para
tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang
kompeten. Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga
masyarakat daerah konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih
mengembangkan sikap saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain
itu juga harus dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur
dan tidak mengelompok secara eksklusif(16,6%), serta mau bergotong (15,5%).
BAB III
PENUTUP
Dalam
pen-Takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara maritim yang
masyarakatnya bersifat majemuk (plural
society), pemerintah dan masyarakat Indonesia rnasih harus belajar
banyak dan sejarah perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola
kemajemukan tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Masyarakat
majernuk yang tersusun olch keragaman kelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta tradisi-budayanya itu, tidak
hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa
mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat
mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika
kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik.
Sebagai
unsur pembentuk sistem sosial masyarakat rnajenrnk, kelompok-kelompok etnik
memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah atribut atau
ciri-cini budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang
dirniliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan atribut-atribut
budaya yang ada, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan
paharn keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul daerah, sejarah sosial, pakaian
tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi cmi pemerlain atau pembeda
suatu kelompok etnik dan kelompok etnik yang lain. Kebudayaan dan atnibut
sosial-budaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil,
konsisten, dan bertahan lama.
Konflik
terjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi dan
kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satuan-satuan
wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelornpok tertentu di
dalam negeni serta pihak asing. Kepentingan itu dilaterbelakangi tujuan
politik, ekonomi dan agama.
Upaya
itu tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit dan pelaksana pihak
keamanan dan birokrasi mayonitas masih komit dengan negara kesatuan sehingga
serius memperkecil zona konflik dan kefatalan berbagai dampaknya. Masyarakat
dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basic yang kuat mernasuki
kancah konflik bahkan sebaliknya dari semula sudah terbiasa hidup rukun dan
damai dalam berbagai perbedaan.
Namun
begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan cerdas, ditambah
dengan nuansa reformasi secara mencuatnya konsep HAM, mereka menginginkan agar
pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan kehidupan mereka seyogyanya
mengikutsertakannya dalam merancang program itu sehingga sesuai sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qodir, Wahyuningsih. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Cirebon.
Sayuti,
Wahdi dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan,
Demokrasi, HAM & Masyarakat