1. Sejarah asal mula adanya tahlilan
Kata tahlil
sebenarnya tercetak dari ungkapan ringkas “Laa ilaha illa Alloh ” yang
dijadikan percakapan oleh orang-orang arab.
Jika kita melihat
historis yang telah ada, sebenarnya Tahlil sudah ada pada saat zaman nabi
Muhammad SAW, terbukti dengan adanya ungkapan tersebut, hanya saja tidak
tersusun rapi sebagaimana saat ini, yang telah dianggap oleh kebanyakan manusia
buta sebagai bid’ah dlolalah, terutama oleh golongan tertentu. Tahlil yang
biasa kita lakukan dengan tujuan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal
dunia, sebenarnya bermula dari perjuangan sunan-sunan Walisongo , yang mana
pada saat itu adat istiadat orang jawa, ketika ditinggal mati oleh sanak
keluarganya dilakukan ritual selam tujuh hari berturut-turut dan hari ke empat
puluh setelah kematian, mereka (orang jawa ) mempercayai bahwa ritual ini dapat
menebus dosa-dosa mayyit atau paling tidak bisa menambah kebaikan-kebaikannya,
namun jika dilihat dari kacamata agama islam, sebenarnya dalam ritual tersebut
malah menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang luar biasa, karena di isi dengan
judi-judian dan minum-minuman keras, yang mana hal ini jelas dilarang oleh
agama, diluar kesadaran mereka.
Dari latar
belakang semacam inilah, maka sunan-sunan WaliSongo tergugah untuk merubah adat
istiadat mereka dengan ritual yang islami, hanya saja oleh beliau-beliau
disadari bahwa adat semacam ini tidak mungkin dirubah secara total, karena
kalau sampai dirubah secara total maka sudah bisa dipastikan bahwa orang jawa
tidak mau mengikuti ajaran Walisongo, bahkan mungkin mereka akan melakukan
tindak anarkis yang bisa membahayakn kelangsungan dakwah para Wali di tanah
jawa ini, sebab selain mereka sudah sangat percaya dengan adat semacam ini,
mayoritas orang jawa pada saat itu adalah abangan (manusia keras kepala dan
anti agama). Maka muncullah satu pemikiran hebat dari sunan walisongo untuk
memanfaatkan tujuh hari atau lainnya, dari apa saja yang telah mereka adatkan,
dengan diisi tahlil bersama, sebagaimana yang telah kita rasakan saat ini
kemanfaatannya, jadi jangan sekali-kali mempunyai anggapan bahwa tahlil hanya
akal-akalan orang(salah satu organisasi Islam di indonesia) tanpa adanya
tendensi (pegangan) hukum yang jelas.
2. Dalil-dalil yang memperbolehkan tahlil
1. Dalil-dalil Al-Qur’an
Tentang sampainya
hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia Terdapat banyak sekali
ayat Al-Qur’an yang menyatakannya, baik ketika mereka masih hidup ataupun
setelah meninggal dunia. Di antaranya adalah :
a.
QS. Muhammad : 19
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”.
Ayat tersebut
menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan mendapatkan
manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya. Dalam tafsir Al-Khazin dijelaskan:
“makna ayat adalah mohonlah ampunan bagi
dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, artinya
selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah Azza wa Jalla kepada umat
Muhammad, di mana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi
dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan
Syafa’at dan do’anya diterima (Tafsir Al-Khazin Juz VI hal 180).
b.
QS Al-Nuh : 28
“Ya Tuhanku ! ampunilah aku, ibu bapakku,
orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, serta semua orang yang beriman
laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang
dhalim itu selain kebinasaan”
Dalam ayat
tersebut dijelaskan, bahwa Nabi Nuh AS mendo’akan orang-orang mukmin laki-laki
dan perempuan agar dosanya diampuni oleh Allah SWT.
c. QS Ibrahim : 40-41
“Ya Tuhanku,
jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat, ya
tuhanku kami, perkenankanlah do’aku (40) Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua
ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (41)”
Dalam menafsirkan
ayat di atas Syekh ‘Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi mengatakan
:
“Ini merupakan do’a memohon ampunan kepada
Allah SWT untuk orang-orang mukmin. Sementara Allah SWT tidak akan menolak do’a
kekasih-Nya Ibrahim AS. Dalam ayat tersebut terkandung satu kabar gembira yang
besar bagi orang-orang mukmin dengan adanya ampunan dari Allah SWT berkat do’a
nabi Ibrahim AS.” (Tafsir Al-Khazin Juz IV hal 50).
d. QS Al-Hasyr : 10
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshar) mereka berdo’a, “Ya Tuhan kami, berilah ampunan kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa orang mati bisa mendapatkan manfa’at dari istighfar yang
dibaca oleh orang yang masih hidup.
e. QS Al-Thur : 21
“Dan orang-orang yang beriman serta anak cucu
mereka mengikuti merka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap
manusia terikat apa yang dikerjakannya”
Mengenai ayat ini
Syekh ‘Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi memberikan penjelasan :
“Artinya kami menyamakan anak-anak mereka yang
kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka yang dewasa dengan
keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman
seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang
tuanya. (kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan
orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun
amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu
sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini
diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA” (Tafsir Al-Khazin Juz VI hal 250).
Penjelasan yang
sama dapat dilihat dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan karya Ibnu Jarir Al-Thabari Juz
28 Hal 15.
Beberapa ayat dan
penafsiran tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak hanya
memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan
manfaat amaliyah orang lain.
2. Dalil-dalil Al-Hadits
Kalau Al-Qur’an
sudah menjelaskan bahwa orang mukmin dapat memperoleh manfaat dari amal orang
lain , maka di dalam hadits Nabi SAW juga ada dan cukup banyak. Di antaranya
adalah :
a. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
RA.
“Dari Ibnu Abbas RA, ada seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rosulullah, ibu saya meninggal dunia. Apakah
ia akan mendapatkan kemanfaatan jika saya bersedekah untuknya ?”, Nabi SAW
menjawab, “Ya”. Laki-laki tersebut berkata, “Saya mempunyai kebun, saya mohon
kepadamu wahai Rosulullah untuk menjadi saksi saya bersedekah atas nama ibu
saya” (shahih al-Bukhari, 2563).
Hadits di atas
menerangkan bahwa sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang, pahalanya bisa
sampai kepada orang yang telah meninggal dunia. Termasuk dalam kategori sedekah
adalah bacaan tasbih, takbir, tahmid dan tahlil, sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam kitab Riyadlus Sholihin.
b. Hadits Riwayat Ma’qil bin Yasar RA.
“Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Surat Yasin adalah intisari Al-Qur’an. Tidaklah
seseorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT kecuali Allah SWT akan
mengampuni dosadosanya. Maka bacalah surat Yasin atas orang-orang yang telah
meninggal di antara kamu sekalian” (Musnad Ahmad bin Hambal, 19415)
Hadits di atas
secara tegas menganjurkan membaca Al-Qur’an untuk orang yang yang telah
meninggal dunia, karena yang dimaksud mautakum dalam hadits tersebut adalah
orang-orang yang telah diambil ruhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Haula
Khasaish Al-Qur’an.
“Syekh Muhibbuddin Al-Thabari mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan kata mautakum dalam hadits tersebut adalah orang yang
ruhnya telah terpisah dari jasadnya. Adapun pendapat yang mengartikan kata
mautakumdengan “orang yang akan meninggal dunia” adalah pendapat yang tidak
berdasar”.(Haula Khasaish Al-Qur’an, 44)
c. Hadits riwayat sayyidina Ali RA yang
diriwayatkan oleh Abu Muhammad Al-Samarqandi,Al-Rafi’I dan Al-Daraquthni
“Dari Ali RA Rasulullah SAW bersabda. “Barang
siapa berjalan melewati pemakaman, lalu membaca surat Al-Ikhlas sebelas kali
dan menghadiahkan pahalanya kepada ahli kubur, maka ia akan diberi pahala
sejumlah ahli kubur.” (diriwayatkan oleh Abu Muhammad Al-Samarqandi Al-Qur’an
45)
d. Al-Khallal dari al-Sya’bi berkata :
“Jika ada sahabat
di kalangan Anshar meninggal dunia, mereka berkumpul di depan kuburnya sambil
membaca Al-Qur’an”. (al-Ruh, 11)
Berdasarkan
beberapa hadits serta amaliyah para sahabat di atas jelaslah bahwa Nabi
Muhammad SAW menganjurkan membaca Al-Qur’an di atas kubur, lalu para sahabat
mengerjakan anjuran Nabi SAW tersebut. Jadi tidak diragukan lagi bahwa bacaan
Al-Qur’an atau amal ibadah lainnya dapat bermanfaat kepada mayit. Sebab bila
tidak ada manfaatnya, Nabi SAW tidak akan menganjurkan para sahabatnya
melakukan sesuatu yang sia-sia, tidak ada guna dan manfaatnya.
3. Pendapat para ulama’
Mayoritas ulama
menyatakan bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari usaha (amal orang yang
masih hidup).
Kata Imam Al-Qurthubi :
“Imam Ahmad bin Hambal RA berkata : “Apabila
kamu berziarah ke pemakaman, maka bacalah surat Al-Fatihah, Al-Mu’awwidzatain,
dan surat Al-Ikhlas. Kemudian hadiahkan pahalanya kepada ahli kubur. Maka
sesungguhnya pahala tersebut sampai kepada mereka”.(Mukhtashar Tadzkirat
Al-Qurthubi, 25)
Dalam kitab
Nihayah al-Zain disebutkan :
“Ibnu Hajar dengan mengutip Syarh Al-Mukhtar
berkata: “Madzhab Ahlussunnah berpendapat bahwa seseorang dapat menghadiahkan
pahala amal dan do’anya kepada arang yang telah meninggal dunia. Dan pahalanya
akan sampai kepadanya” (Nihayah Al-Zain, 193)
Ibnu Taimiyyah
mengemukakan beberapa alasan mengenai sampainya hadiah pahala kepada orang yang
telah meninggal dunia. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab Tahqiq
Al-Amal, 53-56 :
“Ibnu Taimiyyah berkata, “Barang siapa
berkeyakinan bahwa manusia tidak dapat memperoleh manfaat kecuali dari amalnya
sendiri, maka ia telah menentang ijma’. Hal itu batal karena beberapa hujjah
sebagai berikut :
Manusia dapat
memperoleh manfaat do’a orang lain, dan ini berarti memperoleh manfaat dari
amal orang lain.
Berdasarkan hadis
dan ijma’ ulama, haji fardlu yang menjadi tanggungan mayit dapat gugur dengan
haji yang dilakukan walinya. Keterangan ini menunjukkan bermanfaatnya amal
orang lain.
Tetangga yang baik
dapat memberi manfaat ketika masih hidup atau setelah ia meninggal dunia
seperti dijelaskan dalam atsar.
Dalam kitab Nailul
Author, Al-Syaukani mengutip syarah kitab Al-kanz :
“Dalam syarah kitab Al-Kanz disebutkan bahwa
seorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan baik yang ia kerjakan kepada orang
lain, baik berupa sholat, puasa, haji, shodaqoh, bacaan Al-Qur’an atau semua
bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala perbuatan tersebut sampai kepada
mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama’ Ahlussunnah.
(Nail Al-Author, Juz IV hal 142)
Setelah
menjelaskan bahwa seluruh ulama’ telah sepakat tentang sampainya pahala bacaan
Al-Qur’an atau dzikir lainnya kepada mayit, Sayyid Alawi Al-Maliki, salah
seorang guru besar di masjid Al-Haram pada zamannya berkata:
“Kalau ada orang menyangka bahwa hal tersebut
(menghadiahkan pahala kepada orang mati) hukumnya haram, maka tanyakanlah
kepadanya, “pada bagian manakah di dalam Al-Qur’an atau Hadits yang
mengharamkan hal tersebut ?” kemudian bacalah ayat yang artinya “Dan janganlah
kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta” ini
halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah SWT.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah SWT
tiadalah beruntung”.(QS Al-Nahl, 116). Katakan juga kepadanya, “Kalau memang
anda merasa sebagai seorang mujtahid, maka ijtihad anda tidak lebih benar dari
ijtihad para Imam yang disebut di atas, yang berpendapat boleh menghadiahkan
pahala kepada orang lain berdasarkan dalil yang kuat dari hadits SAW. Namun
jika anda masih dalam tingkatan muqallid, maka selesailah diskusi ini dengan
anda” (Faidlu Al-Khabir, 178)
Kemudian yang dimaksud
dengan pendapat yang masyhur dari Imam Syafi’i RA tentang tidak sampainya
bacaan Al-Qur’an kepada orang mati. Seperti yang dikatakan Muhammad Ahmad
Abdissalam :
“Menurut pendapat
yang “Masyhur” dari madzhab Syafi’I, serta segolongan dari Ashab Al-Syafi’I
(pengikut madzhab Syafi’i), bahwa pahala membaca Al-Qur’an tidak sampai kepada
mayit” (Hukmu Al-Qira’ah li Al-Amwat, 18-19)
Di kalangan
Syafi’iyyah dalam menyimpulkan pendapat Imam Syafi’I ada beberapa istilah.
Seperti Al-Shahih, Al-Azhhar, Al-Masyhur, Al-Rajih dan lain sebagainya, yang
definisi istilah-istilah tersebut bisa dilihat pada kitab-kitab fiqih
Syafi’iyyah. Sedangkan maksud pendapat Al-Masyhur dalam persoalan ini adalah
apabila Al-Qur’an tidak dibaca di hadapan mayit dan tidak diniatkan sebagai
hadiah kepada orang yang meninggal dunia tersebut. Salah seorang tokoh
Syafi’iyyah, Syekh Zakaria Al-Anshari Al-Syafi’I menerangkan :
“Sesungguhnya
pendapat yang masyhur (dalam madzhab Imam Syafi’i) mengenai pembacaan
Al-Qur’an, adalah apabila tidak dibaca di hadapan mayit, serta pahalanya tidak
diniatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak didoakan” (Hukm Al-Syari’ah
Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 43)
Hal tersebut
karena Imam Syafi’i RA sendiri berpendapat sunnah membaca Al-Qur’an di dekat mayit.
Imam Syafi’i RA berkata :
“Disunnahkan membaca sebagian ayat Al-Qur’an
di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca Al-Qur’an
sampai khatam”. (Dalil Al-Falihin Juz VI hal 103)
Dan banyak riwayat
yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i RA berziarah ke makam Laits bin Sa’ad dan
membaca Al-Qur’an di makam tersebut.
“Sudah popular
diketahui oleh orang banyak bahwa Imam Syafi’i pernah berziarah ke makam Laits
bin Sa’ad. Beliau memujinya dan membaca Al-Qur’an sekali hatam di dekat
makamnya. Lalu beliau berkata, “Saya berharap semoga hal ini terus berlanjut
dan senantiasa dilakukan” (Al-Dakhirah Al-Tsaminah, 64)
Berdasarkan
keterangan di atas menjadi jelas bahwa Imam Syafi’i RA juga berkenan
menghadiahkan pahala kepada mayit. Hanya saja harus dibaca di hadapan mayit,
atau di do’akan pada bagian akhirnya kalau mayit tidak ada di tempat membaca
Al-Qur’an tersebut. Dengan kehendak Allah SWT pahala bacaan tersebut akan
sampai kepada mayit. (Al-Tajrid Li Naf’I Al-‘Abid Juz III hal 276)
Mengenai keharusan
berdo’a setelah membaca Al-Qur’an atau dzikir (tahlil), bagi Imam Syafi’i RA
itu merupakan satu syarat yang mutlak dilakukan. Sebagaiman diriwayatkan oleh
Rabi’ bahwa Imam Syafi’i RA berkata :
“Tentang do’a maka sesungguhnya Allah SWT
telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga
memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat islam
berdo’a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga
berdo’a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut
insya Allah akan sampai. Sebagimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi
orang yang hidup, Allah SWT juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada
mayit.
(Diriwayatkan dari
Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i Juz I hal 430)